Friday, June 08, 2007

Pencerahan dari Emha

Andaikan melemparkan benda ke kepala orang lain adalah pasti kejahatan, maka tindakan tidak melemparkan adalah pasti kebaikan. Maka, lagi, keadaan dilempar oleh orang lain adalah bukan hanya kebaikan, tapi juga keuntungan. Investasi. Aku menjadi mendapatkan sesuatu yang sebenarnya bukan hakku, aku akan memperoleh kemaslahatan yang semula bukan bagianku. (Emha, 2007:13)

Penggalan kalimat di atas adalah potongan tulisan Emha Ainun Nadjib dalam bukunya yang berjudul “Istriku Seribu” (2007). Dalam bukunya tersebut ia bercerita ketika ingin meminta pendapat Yai Sudrun dengan menunjukkan karangannya tentang poligami justru sang Yai melemparnya dengan karangannya itu, tapi anehnya ia menganggap lemparan Yai Sudrun justru sebuah berkat baginya. Bahkan andaikata lemparan Yai Sudrun meleset beberapa inci dari kepalanya maka ia akan berusaha menggeser posisinya agar kepalanya terkena lemparan. Sekali lagi karena ingin berkatnya Yai Sudrun. Sebuah pemikiran yang aneh menurutku. Atau justru anarkis?

Aku mencoba membayangkan, andaikan aku dalam posisi Emha, jangankan dilempar buku dilempar sepotong kertas pun mungkin aku akan merasa tersinggung. Kan aku hanya ingin meminta pendapat Yai Sudrun. Lha kok malah dilempar? Kenapa tidak ngomong saja kalau Yai Sudrun gak suka dengan tulisanku? Apa karena kurang referensi, kurang bermutu, kurang banyak, atau kurang apa?

Tapi meskipun aneh, tulisan Emha ini bagiku memberikan sebuah pencerahan.

Pertama, tentang persepsi dan kekuatan pikiran. Betapa respon kita amat ditentukan dengan apa yang kita persepsikan. Dan persepsi kita itu ibarat kacamata. Sebuah realita bisa terlihat biru, hitam, putih tergantung dari warna lensa kacamata yang kita pakai. Kita bebas memilih kacamata biru, apa kacamata hitam atau kacamata dengan lensa jernih untuk kita pakai. Dan kebebasan memilih itu adalah kekuatan pikiran kita sendiri.

Kedua, mengenai pentingnya memaknai setiap kejadian yang kita lalui dengan mencari sisi positif kejadian itu, dan lebih jauh lagi memaknainya sebagai sebuah bagian dari ibadah. Lihatlah betapa Emha begitu enteng memandang kejadian yang bagiku -apabila mengalaminya sendiri- akan memaknainya sebagai sebuah penghinaan. Dia melihat bahwa dilempar orang lain bukan sebuah kehinaan, tapi justru sebuah investasi! Wah hebat, hanya orang-orang dengan tingkat spiritualitas yang tinggi lah yang dapat memberi makna lebih terhadap kejadian yang bagi orang lain adalah hal yang negatif. Ia adalah termasuk ke dalam orang-orang dengan rasa aman internal, orang yang berpedoman pada kompas bukan pada peta yang bisa usang. Ia adalah orang yang memiliki prinsip dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku. Sedangkan prinsipnya adalah prinsip yang sejati yaitu keridhoan Allah SWT semata.

Sebelum aku sudahi tulisan ini, coba resapi kembali bagian lain dari tulisan Emha dalam bukunya berikut :

Sepanjang istriku menjadi istriku, pengalaman terbesar yang selalu dialaminya adalah bahwa suaminya difitnah orang, kemudian difitnah orang dan terus difitnah orang. Fitnah kecil maupun besar. Fitnah dengan tema remeh maupun mendasar. Tak pernah berhenti difitnah, disalahpahami, dibuang, dipinggirkan, diremehkan, disalahmengerti, ditiadakan, di-bukan-manusiakan.

Sesekali orang bertanya kepadanya, bagaimana rasanya suami difitnah orang terus menerus. Istriku menjawab :”Sangat senang dan bersyukur. Aku sedih dan tak bisa tidur kalau suamiku yang memfitnah orang”. Sampai-sampai terkadang kami merencanakan membuat lomba fitnah atas kami dan kami menyediakan hadiah-hadiah besar untuk para pemfitnah. Karena mereka berjasa besar kepada kami, menginfaqkan berbagai investasi masa depan yang sesungguhnya sedikitpun kami tak pernah miliki, kemudian terbukti terus menerus bahwa kami selalu memperoleh segala sesuatu yang kami tak pernah mimpikan, yang sebenarnya kami sadar bahwa kami tak memiliki kesanggupan untuk meraihnya. Hanya karena difitnah orang, maka deposito masa depan kami berkembang biak, sehingga akhirnya datang berduyun-duyun kepada kami segala kekayaan dan kegembiraan hidup yang amat didambakan para pemfitnah kami tanpa mereka pernah mendapatkannya. (Emha, 2007:13-14)

Sekali lagi, sebuah pemaknaan yang luar biasa. Maka timbul sebuah pertanyaan untuk diri ini, “sanggupkah engkau memaknai seperti itu?”

Suroboyo, 7 Juni 2007
[13:10]

1 Comments:

At 8:14 PM, Blogger ISTRI LUCU said...

wah... aku juga harus melihat 'sesuatu' dari sisi positif ya..

alhamdulillah 4JJI sudah memberiku 'sesuatu' dan menyayangiku. boleh pinjem bukunya Emha nggak? kalo boleh dititipin rd ya.

salam buat ocha dan adek kecilnya.

 

Post a Comment

<< Home