Monday, June 18, 2007

Pagi Seorang PNS & Istrinya

Hari ini begitu membosankan. Persis seperti hari-hari yang lain. Entah sampai kapan kondisi seperti ini akan dialami oleh PNS di instansi-instansi daerah seperti diriku.

Hari ini seperti biasa kulakoni rutinitas yang telah menjadi siklus harianku dalam kurun waktu setahun ini. Sebagai seorang muslim, bangun shubuh adalah satu hal yang biasa. Bahkan justru sebuah kewajiban. Namun bagi seorang PNS, bangun shubuh berarti sekalian persiapan untuk berangkat bekerja. Dan tentunya karena telah memiliki sebuah keluarga, istriku harus rela turut bangun lebih awal untuk menyiapkan kebutuhan-kebutuhanku sebelum berangkat ke kantor. Membikinkan segelas kopi panas, menanak nasi, berbelanja ke pasar dan kemudian memasak ekstra kilat supaya aku –sang suami– tidak telat berangkat kerja. Mungkin bagi istri seorang PNS, pagi adalah waktu tersibuk dalam hidupnya. Penuh hiruk pikuk.

Bagi istriku yang juga seorang pekerja di suatu perusahaan kontraktor di Surabaya, mungkin waktu-waktu setelah aku berangkat sampai dia berangkat ke kantornya adalah waktu yang agak menyisakan ruang santai baginya. Hanya saja satu jam kesibukannya di awal hari rasanya menjadi sia-sia jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan suaminya ketika ia telah tiba di kantornya. Setidaknya ini yang menjadi bahan perenunganku akhir-akhir ini.

Beberapa waktu yang lalu aku terlibat diskusi dengan beberapa orang rekan sekantor mengenai apa yang dituntut dari seorang pegawai negeri sipil di institusi pemerintahan? Ternyata jawabannya bukan mampu bekerja dengan baik menggunakan komputer misalnya, atau mampu membuat perencanaan kerja untuk lingkup kerja dan tanggung jawabnya sendiri. Tapi cukup DATANG SEBELUM JAM APEL PAGI. Itu saja yang dituntut bagi seorang PNS, dalam diskusi kami itu.

Dan memang begitu lah yang ku alami. Seperti yang terjadi padaku hari ini. Hari ini tidak ada apel pagi, melainkan upacara rutin tiap tanggal tujuh belas tiap bulannya. Hari ini aku datang pagi sekali. Jarum panjang di arlojiku menunjuk antara angka empat dan lima, sedangkan jarum pendeknya berada di antara angka enam dan tujuh. Parkir motor pun masih lengang sehingga aku masih bisa memarkir motorku di bagian terdepan dari tempat parkir kantor. Setelah mengambil kopiah di lantai tiga tempatku bekerja aku langsung turun menuju tempat absensi untuk menunaikan kewajiban menjaga absensi para pejabat eselon tiga dan empat di tempatku.

Selepas upacara, seperti biasa aku kembali menuju tempat bekerjaku di lantai tiga. Dan ritual membosankan itu pun kembali terjadi. Tidak ada sesuatu pun yang bisa ku kerja kan pagi itu. Jawa Pos sedang dibaca seorang rekan. Akhirnya Bhirawa yang tergeletak di meja rekanku ku sabet untuk ku baca. Seperti biasa, tidak ada yang menarik. Bhirawa seringkali hanya berisi tentang kasus-kasus korupsi yang sedang menimpa pejabat-pejabat di tempatku. Memang akhir-akhir ini pejabat di tempatku mulai ketar-ketir akibat perbuatannya di masa lampau. Dalam pengamatanku tidak semuanya pantas menanggung kesalahan, karena sebagian mungkin tidak khatam membaca perundangan tentang pengadaan barang, atau mungkin tidak berani membantah atau mengkritisi disposisi atasannya. Dan terus terang aku sudah bosan dengan berita yang itu-itu saja. Hanya butuh waktu lima menit untuk membaca headline. Halaman-halaman lain cukup dibaca judul dan lead-leadnya saja.

Selesai membaca Bhirawa, ku buka laci mejaku dan mengambil sebuah buku yang sengaja ku bawa dari rumah. Spiritual Quotient karya Danah Zohar & Ian Marshall. Beberapa waktu terakhir ini memang aku berusaha membuat komitmen untuk membaca kembali buku-buku psikologi yang dulu pernah ku baca. Menyegarkan kembali ilmu yang kuperoleh, begitu maksudku. Hanya saja entah kenapa pagi itu aku kurang bergairah untuk membaca buku-buku berat macam itu. Ku taruh kembali buku itu di laci meja. Ku lihat sekelilingku, di deretan meja komputer sejumlah rekan-rekan sudah sibuk mengutak-atik komputer. Entah apa yang mereka kerjakan. Mungkin mengetik draft surat untuk diajukan ke kepala sub bagian, atau justru nge-game? Yah seperti itu lah keseharian mereka. Dan aku tak perlu heran.

Sungguh kondisi seperti ini seringkali terjadi padaku. Bingung mau ngerjain apa? Atau apa yang bisa ku kerjakan sekarang? Kadangkala memang ada kerjaan ngetik surat. Ya, ngetik surat. Terkadang kita tinggal mengganti subyek, obyek, identitas dalam surat itu. Fasilitas mail merge pada ms office akan mengefesienkan model pekerjaan seperti ini. Atau sedikit mengarang, istilah orang-orang di tempatku “ngonsep surat” (iya, ngonsep surat! Jangan salah sangka, bukan mengonsep sebuah program atau membuat perencanaan atau memberikan analisa suatu permasalahan he he..). Biasanya si bos hanya sedikit memperhatikan content surat, karena di tempatku sekarang ini lebih banyak mengurus administrasi saja. Jadi tampilan surat lah yang ia lebih perhatikan. “mas, ini tolong kurang kenceng.”, “mas ini kurang ke kiri, kurang ke kanan”, “mas ini hurufnya kegedhean, yang miji-miji gitu lho mas…”, yang lainnya, “mas, kata ‘dipertanggungjawabkan’ mestinya ini pake spasi apa nggak ya?” kadang-kadang juga, “mas, tolong ini difotokopikan masing-masing dua kali.” (he he he….) Tidak mengapa, tugas fotokopi pun akan kukerjakan dengan penuh tanggung jawab dan ikhlas (insyaAllah jauh dari sifat nggrundel), tapi kalau pas gak ada kerjaan seperti hari ini?

Kalau kondisi seperti ini melanda diriku, terus terang muncul perasaan bersalah pada istriku. Merasa bersalah kalau ingat bagaimana dia harus pagi-pagi ke pasar buat menyiapkan sarapanku. Belum lagi kalau aku bilang padanya, “Dik, sepuluh menit lagi aku berangkat.” Padahal masakannya masih belum lagi diselesaikannya. Dalam kondisi kepepet seperti ini biasanya ia akan mengajukan opsi, “telur ceplok saja ya mas..” Dan aku sebagai suami yang bikin dia pontang-panting sungguh tidak bijak kalau aku tidak mengiyakan solusinya itu. Hati kecilku berkata, “Duh, rasanya sia-sia dik pontang-pantingmu pagi tadi. Suamimu ini tidak melakukan apa pun di sini. Kalau pagi datang koyok iyo-iyo’o suamimu ini. Seakan-akan bakal melaksanakan tugas yang maha penting, melayani masyarakat sebagaimana filosofi seorang civil servant. Tapi lihat, kenyataannya suamimu ini hanya termangu-mangu di sini. Mondar-mandir, bingung apa yang mau dikerjakan.”

Dan itu lah yang terjadi hari ini. Sampai akhirnya diriku tergerak untuk menuju komputer tempatku biasa menulis dan lahirlah tulisan ini. Yah, semoga zeit geist, sang semangat zaman akan segera membawa negeri ini ke peradaban yang lebih baik. Sehingga dunia birokrasi tak akan melahirkan lebih banyak lagi pecundang-pecundang, namun justru akan melahirkan pejuang yang ikhlas bagi negeri ini.
Amieen….


(Kapan ya masa itu datang??)
Jl. Pahlawan 110, 18 Juni 2007
[14:52 pm]

1 Comments:

At 7:40 PM, Blogger ISTRI LUCU said...

bagi istri semua rutinitas itu adalah ibadah dan insya'alloh dikerjakan sepenuh hati dan ikhlas. yang harus dikawatirkan ketika rutinitas itu menjadi sekedar 'tanggung jawab' dan 'sandiwara'...

btw punya buku seri hidupnya emha yang lain nggak? kalo ada boleh dong pinjem :) salam buat ocha n adek kecilnya ya...

 

Post a Comment

<< Home