Thursday, August 16, 2007

ibu,kasihmu tiada ternilai

Alhamdulillah, akhirnya setelah menunggu hampir 42 minggu si adek lahir juga. Lahir Ahad pagi jam 3.10, 12 Agustus 2007 kemarin lewat persalinan normal pula :)

Sebagai seorang ayah, pengalaman ini benar2 memberikan pengalaman yang luar biasa. Bagiku pengalaman ini memberikan sebuah cakrawala baru tentang arti seorang wanita, ibu dan orang tua.

Jumat pagi, 10 Agustus 2007, menjelang shalat shubuh sebelum berangkat senam di kantor, istriku memanggilku, memperlihatkan kalau di celana dalamnya ada bercak bening dan tidak berbau, pasti bukan ompol. Melihat hal itu aku langsung memutuskan untuk tidak mengikuti senam hari itu, istriku ku suruh mandi dan aku langsung menunaikan shalat shubuh. Selesai shalat aku langsung menghubungi ibuku dan meminta saran beliau tentang kondisi istriku. Menurut beliau apa yang dialami istriku masih belum bisa dikatakan tanda-tanda persalinan. Merasa lega, istriku ku ajak jalan2 keliling kompleks perumahan tempat kami mengontrak dan setelah itu aku tetap berangkat ke kantor seperti biasa.

Jumat sore, pk. 17.00, sepulang berjalan2 keliling kompleks, istriku mengeluh kalau perutnya sedikit kejang. Tak lama setelah keluhannya itu, mendadak keluar cairan dari jalan lahirnya kira2 satu cangkir lah. Bukan hanya itu, cairan itu tidak hanya berwarna bening, tapi juga ada segaris darah segar di dalamnya. Tak mau ambil resiko, akhirnya selepas shalat maghrib kami langsung berangkat ke RS Khadijah di daerah Sepanjang. Sesampainya di sana, pihak RS menyatakan bahwa istriku harus opname. Meski belum merasa ada kontraksi yang berarti, oleh dokter kami dilarang pulang, observasi selama 24 jam harus dilakukan karena meningkatnya resiko infeksi pada ibu dan janinnya karena pecah ketuban itu.

Dan selama 24 jam penuh kami menunggu tanpa adanya reaksi, kontraksi rahim istriku. dr. Bambang, dokter kandungan tempat kami selama ini melakukan pemeriksaan kandungan, menyatakan bahwa kalau dalam 24 jam ini tidak ada reaksi, mau tak mau, suka tidak suka harus segera dilakukan induksi.

Sabtu, 11 Agustus 2007. 16.00. Waktu itu suara shalawat nabi mengumandang dari masjid sebelah RS. Memang hari itu ada perayaan Isra' Mi'raj. Dan kami pun berharap si adek akan lahir berbarengan dengan momen istimewa ini. Ditambah lagi 1 jam menjelang keputusan akhir, istriku merasakan mules, kontraksi yang mulai teratur, 15 menit sekali. Waktunya sudah dekat. Dokter pun memutuskan menambah waktu evaluasi 6 jam ke depan memberi kesempatan adanya kontraksi normal dari sang ibu. Itu artinya pukul 23.00 kalau kontraksinya tidak membuahkan apa pun, maka dr bambang akan memerintahkan bidan untuk menginduksi istriku. Ya Allah, semoga itu tidak terjadi, begitu harapan kami..

Pk. 21.00, bidan menyatakan bahwa istriku masih bukaan 2, masih lama..

Pk. 22.00, durasi kontraksi kira2 30 detik per kontraksi dan jaraknya 10 menit sekali. Kami berharap sebentar lagi si adek lahir tanpa harus diinduksi. Istriku agak gentar setelah mendengar cerita bahwa diinduksi itu sakitnya luar biasa..

Pk. 23.00, dan memang tidak ada penambahan intensitas dan durasi kontraksi. Bidan pun menghubungi dr Bambang, dan diputuskan INDUKSI!. Di saat ini, istriku berbisik padaku kalau ia tidak mau didrip, diiinduksi. Ia mungkin merasakan ketakutan yang amat sangat. Aku pun meminta waktu berpikir 30 menit pada bidan. Untungnya pada saat itu aku tidak sendirian. Ada kakak perempuan istriku dan suaminya yang memberikan dukungan pada kami. Dukungan yang sangat berarti bagi istriku, dan ia pun mengatakan : oke deh,kita coba. Aku tahu ada nada keraguan di sana, tapi setelah mengajak berdoa, keraguan itu agaknya sedikit berkurang. Sedikit gemetar aku menandatangani pernyataan setuju untuk dilakukan tindakan yang (katanya) ditakuti sebagian wanita ini. Ya Allah, berikan lah kekuatan pada istriku..

Pk. 23.30, infus berisi cairan oxitosin pun dipasang oleh bidan. Tetes demi tetes mulai mengalir ke dalam nadi ocha, istriku. 10 menit..belum terasa apa-apa.., 20 menit kami masih bisa tertawa bersama. menit ke 25 oxitosin itu rupanya mulai bekerja. Rasa sakit mulai mendera punggung dan bagian bawah perutnya. Rasa sakit itu rupanya semakin bertambah..bertambah..dan bertambah... Erangan, teriakan istighfar, keringat dingin dan rasa sakit bergantian datang. Dan aku hanya kebagian menggosok-gosok punggungnya yang makin lama makin keras, gosokan itu berubah menjadi pijatan yang kulakukan dengan kekuatan penuh lenganku. Rasa capek jelas ku rasakan, tapi aku merasa betapa tidak adilnya jika dengan rasa capek ini aku harus berhenti. Sedangkan istriku berjuang melawan rasa sakit tiada tara, di ambang batas antara hidup dan matinya.. Aku pun selalu bisikkan kalimat istighfar di telinganya setiap kali ia meneriakkan bahwa ia sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit ini.

Dan memang cairan itu membawa kemajuan. 30 menit pertama, istriku sudah mencapai bukaan 4 dan berturut 1 bukaan setiap 20-30 menit berikutnya. Namun, rasa takut dan rasa sakit rupanya sudah teraduk-aduk dalam perasaan istriku, hingga bukaan 8 ia seperti sudah tak punya daya. Bidan pun memutuskan menghubungi dokter.

40 menit kami menunggu. Istriku sudah berulangkali mengerang kesakitan, menggigil kedinginan, berulang kali pula ku seka keringat dingin yang mengucur di kepalanya. Baratajaya ke Sepanjang, bukan lah jarak yang pendek. Kebetulan aku sudah tahu data pak dokter bambang itu dari SIMPEG di kantor. Padahal hari ini malam minggu. Jalanan pasti ramai, begitu pikirku. Dan aku pun hanya bisa berdoa, kuatkan istriku ya Allah...

Ahad, 12 Agustus, 02.30.
Assalamualaikum.. suara berat terdengar dari luar ruang bersalin. Ah, akhirnya dr Bambang datang juga..Dan setelah melakukan sedikit persiapan, akhirnya fase persalinan aktif pun dimulai. Aku diminta memegang kaki istriku. Kedua kakinya di-begegeh-kan, seperti di film-film. Saat kontraksi datang, ia meminta istriku mendorong, dan tek..tek..(bunyinya seperti tahu tek he he...), rupanya pak dokter merobek dengan sengaja jalan lahir istriku, dengan begitu didapatlah bukaan 10 dengan sedikit paksaan.

Proses mengejan dimulai.
Mengejan pertama, ujung kepala berambut itu mulai terlihat. Tapi berhenti sampai di situ, istriku kehabisan nafas.
Mengejan kedua, ada kemajuan, tapi sekali lagi istriku kehabisan nafas.
Mengejan ketiga, kemajuan signifikan, ujung kepala itu terlihat maju kira2 1 cm, tapi masuk lagi. Karena sekali lagi kehabisan nafas.
Mengejan keempat, sama dengan yang ketiga. Di titik ini muncul keraguanku, apakah istriku masih kuat melakukannya lagi?Ku semangati dia dengan membisikkan, sekali lagi sayang.. Kepala anakmu sudah terlihat..
Kelima, benar-benar energi yang luar biasa. Di saat ini lah awal kehidupan itu mulai bekerja. Dorongan istriku menunjukkan hasilnya. Awalnya kepalanya, kemudian bahunya yang terlihat lemas seperti agar-agar, perutnya, kakinya dan terakhir tali pusarnya. Dan di saat tali pusar itu dipotong, terdengar lah suara merdu tangisan bayi yang kami tunggu-tunggu. Alhamdulillah....

Ah, benar2 pengorbanan seorang wanita, seorang ibu itu tiada duanya. Melawan rasa sakit pun ia rela, asal sang anak lahir dengan selamat. Sedangkan seringkali kita tak patuh pada beliau. Betapa sakitnya hati beliau, melebihi rasa sakitnya saat melahirkan kita dulu. Benar-benar, kejadian ini semakin membuatku semakin respek pada wanita-wanita di sekitarku; ibuku..dan juga istriku.. Semakin sayang pada kalian berdua..


Sidoarjo, 17 Agustus 2007
[9:37 am]

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home