Friday, September 07, 2007

blue.. oh baby blue..

Sebenarnya aku sudah tahu sebelumnya lewat beberapa buku/artikel tentang baby blue sydrome. Mengalaminya? Ya jelas gak lah. Tepatnya ikut kecipratan!

Dari artikel/buku tentang kehamilan dan pasca persalinan itu aku tahu bahwa sebagian besar wanita akan mengalaminya setelah melalui persalinan. Bukan sindroma secara fisik tapi sebuah gejala emosional yang khas, yaitu perasaan tersingkir, tersisih, cemburu terhadap anak yang baru dilahirkannya. Sebuah perasaan yang muncul karena selama sembilan bulan lebih mendapat perhatian penuh dari suami dan keluarga, namun setelah tugas itu telah dilampaui perhatian serta merta beralih kepada si kecil.

Dan aku pun merasakannya pada sikap istriku, saat minggu-minggu awal sepulang dari rumah sakit.

Sepulang dari rumah sakit, praktis rumah kami menjadi ramai oleh saudara-saudara kami yang ingin menjenguk. Minggu pertama, ibuku memerlukan datang dari Banyuwangi untuk niliki cucu keempatnya dan buat mengajari kami merawat bayi mungil kami. Minggu kedua kami masih terbantu oleh kedatangan bik sih (bibinya ocha, istriku) yang rela meninggalkan sawahnya selama seminggu. Setelah itu berangsur-angsur rumah kami mulai sepi dan kami harus mulai sendiri melakukan rutinitas baru kami, merawat nana anak kami.

* * * * *

Blue..Oh Baby Blue...
Pengalaman baru merawat bayi adalah pengalaman yang luar biasa bagiku, terutama bagi istriku. Setelah biasa diperhatikan selama sembilan bulan, sekarang ganti dia yang harus pay full attention kepada bayinya. Ibarat tanaman yang biasa disiram setiap hari, kemudian jarang disiram, ditambah harus menghidupi benalu. Mungkin begitu yang dirasakan istriku.

Awalnya aku tidak begitu memperhatikan perubahan sikap ocha. Aku kira, (selayaknya) ia pasti bersuka cita atas kehadiran putri yang kami nanti-nantikan ini. Aku kira ia menikmati ketika menyusui bayinya, menggantikan popoknya dan saat memandikannya. Ternyata, kebalikannya!

Suatu malam, menjelang tidur aku memergokinya melamun sendiri di pojok kamar sambil menyusui anaknya. Tidak seperti biasa, ia tidak menyapa dan mengajakku ngobrol tentang anaknya. Dan aku mengenali sikapnya itu adalah semacam pernyataan protes. Dan biasanya kalau sudah seperti itu, hanya bisa disembuhkan dengan menghampiri, merangkulnya dan menanyakan ada masalah apa.. Cuma masalahnya, karena saat itu ia masih menyusui anaknya hal itu jadi gak bisa dilakukan.

Baru keesokan harinya aku bisa mengajaknya ngobrol. Dan seperti pada umumnya perempuan yang tidak pernah secara langsung mengungkapkan masalah, ocha sepertinya minta supaya aku mengerti tanpa harus masalahnya tanpa ia harus mengungkapkan secara gamblang. Waktu itu dia hanya bisa menahan tangis. Dan, oo oouw.., aku pun tahu..

Di saat-saat seperti ini lah terasa manfaatnya kuliah di psikologi. Aku jadi segera paham bahwa ia mengalami baby blue syndrome.

Setelah mampu mengendalikan emosinya, ia pun bercerita bahwa ia merasakan bahwa aku meskipun dekat tapi terasa jauh. Aku seperti tidak peduli dengannya, dan hanya lebih peduli dengan nana anaknya. Ia merasakan bahwa "makhluk asing" ini lah yang tiba-tiba merebut segalanya darinya. Singkatnya, istriku jealous he he....

Dan seorang perempuan yang jealous obatnya cuma satu, dirayu dan diyakinkan dengan dicium, maka rontok lah sang momok bernama blue..oh baby blue itu.

Oleh karenanya, para suami yang sedang menantikan kehadiran tangis si kecil dalam rumahnya, bersiaplah.....he he...


Sidoarjo, 7 September 2007

0 Comments:

Post a Comment

<< Home