Thursday, August 28, 2008

Buat kalian, apa pun kami korbankan

Namanya juga orang tua, apa pun dikorbankan demi sang anak. Pemahaman itu semakin mendalam ketika aku diberikan tugas dari kantor untuk mendampingi calon mahasiswa IPDN mengikuti tes terakhir yang menentukan kelulusannya.

Ungkapan itu sebenarnya sudah lama aku tahu, semenjak masa kanak-kanak dulu. Saat Bapak dan Ibuku memarahiku karena jengkel terhadap kenakalanku. Pernah satu ketika, karena asyiknya bermain aku lupa harus pulang ke rumah. Karena hari sudah menjelang maghrib, orangtuaku bingung mencariku ke tetangga-tetangga sebelah rumah. Mendatangi rumah teman-temanku. Tidak hanya mereka yang mencari, tapi para tetangga dekat orangtuaku juga ikut kebingungan mencari. Padahal aku bermain di lapangan kosong berpagar tembok yang lumayan tinggi. Di situ aku bermain-main di bawah pohon keres. Dan ketika aku pulang ke rumah setelah adzan maghrib selesai berkumandang tanpa rasa bersalah, kontan orangtuaku langsung memarahiku habis-habisan. Waktu itu aku tidak bisa mengerti, mengapa anak kecil seperti aku tidak boleh bermain lama-lama, hanya itu yang ada dalam pikiranku. Dan kini diriku semakin memahami betapa orang tua sangat menyayangi anak-anaknya, darah dagingnya, dan bersedia melakukan apa pun, demi mereka.

Di sini, di pinggiran kota Bandung, tepatnya di Jatinangor Kabupaten Sumedang, sudah tujuh hari tepatnya aku menunaikan tugas yang diberikan kantor. Di sini tidak hanya orang-orang sepertiku yang memiliki maksud yang sama, mendampingi calon mahasiswa IPDN sampai dengan kepastian nama-nama yang berhak menduduki bangku kampus itu muncul. Namun banyak juga para orang tua yang merelakan waktu mereka, demi mendampingi anak-anaknya meraih asa. Di sela waktu senggang bertugas ini, seringkali aku mengobrol dengan mereka. Dengan antusias mereka bercerita tentang anak-anak mereka. Bercerita tentang betapa cerdas dan tekunnya anak-anak mereka, bagaimana perjuangan anak mereka menembus persaingan yang begitu ketat, betapa mereka begitu mengkhawatirkan kondisi anak-anak mereka di dalam sana yang nyaris tidak bisa dihubungi karena mereka tidak diperbolehkan membawa alat komunikasi apa pun. Orang tua-orang tua itu menceritakan bagaimana mereka mempersiapkan anak-anak mereka jauh-jauh hari sebelumnya. Menyisihkan sebagian penghasilan mereka untuk mendatangkan pelatih fisik khusus persiapan tes kesamaptaan, membayar biaya tes yang tidak sedikit itu, sampai dengan membiayai kehidupan mereka di sini, di Jatinangor ini, yang nyaris tanpa kepastian sampai dengan kapan mereka harus berada di sini. Orang-orang tua ini dengan setia menunggui anak-anak mereka di sini, seakan-akan mereka sendiri lah yang mengikuti tes. Barangkali di saat anak-anak mereka sedang diuji, mereka lah yang merasakan nervous yang amat sangat, sedangkan di saat yang sama anak-anak mereka saling bercanda di antara mereka. Barangkali juga apabila keinginan anak-anak mereka untuk menembus ketatnya persaingan ini bisa ditebus dengan materi, mereka akan melakukannya juga, bahkan dengan berutang sekali pun.

Kebahagiaan anak, adalah segala-galanya bagi orang tua. Begitu kira-kira dalam benak semua orang tua di muka bumi ini. Aku jadi teringat pada anakku, si mungil, Najwa. Teringat akan langkah-langkah kecilnya saat menjelajah rumah kontrakanku. Teringat tawa renyahnya saat aku menggodanya. Teringat mulutnya yang penuh dengan nasi tim saat ia makan. Rasanya aku tak akan membiarkan apa pun merenggut kebahagiaan darinya. Dengan upaya apa pun aku akan melakukannya demi membuatnya bahagia sampai ia dewasa kelak. Saat tugasku sebagai orang tua telah selesai. Bahkan sampai dengan maut menjemput kelak.

Aku juga jadi teringat kepada kedua orang tuaku. Betapa mereka sangat berjasa terhadap apa yang telah kucapai saat ini. Tanpa mereka, aku bukan apa-apa saat ini.


Jatinangor, 29 Agustus 2008

0 Comments:

Post a Comment

<< Home