Saturday, August 06, 2022

Coba

 hamam nyoba

Friday, September 12, 2008

Angon wedhus di Rusia

Namanya nasib, kita tidak pernah bisa menyangka sebelumnya. Nasib termasuk perkara yang ghaib, yang kita diwajibkan percaya dan mengimaninya. Bukankah percaya pada yang ghaib (percaya terhadap takdir Allah) termasuk dalam rukun iman? Dan nasib temanku, si Naufal, membuatku semakin yakin bahwa setiap manusia telah memiliki garis takdirnya sendiri.

* * * * *

Naufal, adalah teman sekelasku saat SMA dulu. Orangnya biasa-biasa saja. Dari segi kecerdasan biasa-biasa saja. Dari segi fisik orangnya standar-standar saja bahkan cenderung bertubuh kecil. Dari segi pergaulan dia bukan tipe orang yang pilih-pilih, dia bisa akrab dengan semua orang. Singkatnya dari profilnya dulu, dia ini gak ndayani (istilah orang Jawa untuk mengistilahkan kekurangpercayaan kita terhadap kemampuan seseorang) dan mungkin juga kurang diperhitungkan bakal meraih sukses kelak.

Tapi siapa sangka, di antara teman-teman sekelasku bahkan mungkin satu sekolah, dia termasuk orang layak diberi predikat sukses. Naufal saat ini bekerja di sebuah perusahaan minyak asing, kalau tidak salah dari Korea, dan saat ini dia ditugaskan di sebuah negara yang mungkin dulu dia tidak pernah bayangkan untuk mengunjunginya sekalipun. Dia sekarang bertugas di Rusia.

Bekerja di perusahaan minyak adalah sebuah anugerah. Paling apes pendapatannya kalau pendidikannya sekelas SMA, yang mungkin pekerjaannya sekelas operator di lapangan, seorang pekerja di sana bisa membawa pulang paling tidak 5-10 juta per bulannya. Belum lagi tunjangan-tunjangan yang diperoleh. Wah wah wah... seorang lulusan S1 yang bekerja di perusahaan swasta nasional saja belum tentu mendapatkan pendapatan segedhe itu kalau masa kerjanya masih seputar 5 tahunan.

Dan Naufal, seseorang yang dulu pernah memilih untuk tidak menempuh kuliah karena kesulitan biaya, walaupun sempat lulus UMPTN, membuktikan bahwa ketika kita selalu optimis memandang masa depan, maka kesempatan baik itu pun akan datang menghampiri. Setelah sempat bekerja serabutan, ia kemudian bertemu seseorang yang menjadi titik balik kehidupannya. Karena kemampuannya berbahasa inggris dan sedikit komputer, yang walaupun menurut kemampuannya sangat biasa-biasa saja dan cenderung di bawah standar, orang itu tertarik untuk mempekerjakannya di tempatnya. Dari sini lah sang dewi fortuna semakin akrab dengan si Naufal.

* * * * *

Aku jadi ingat dengan dialog dengannya sesaat ketika dinyatakan lulus SMA. Saat itu hampir semua teman-temanku, termasuk aku, sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan diri mengikuti UMPTN, ujian masuk perguruan tinggi. Naufal, termasuk orang yang adhem ayem saja. Tentu saja ini mengundang keherananku, yang akhirnya tergoda untuk bertanya pada Naufal, "Fal, setelah ini kamu mau ngapain?". Dan Naufal menjawab dengan tersenyum, "Yah, mungkin aku angon wedhus ae (menggembala kambing saja) Yan."

Dan nasib pun membuktikan, sekarang dia ternyata angon wedhus di Rusia.

Good luck pren!

Labels:

Thursday, August 28, 2008

Buat kalian, apa pun kami korbankan

Namanya juga orang tua, apa pun dikorbankan demi sang anak. Pemahaman itu semakin mendalam ketika aku diberikan tugas dari kantor untuk mendampingi calon mahasiswa IPDN mengikuti tes terakhir yang menentukan kelulusannya.

Ungkapan itu sebenarnya sudah lama aku tahu, semenjak masa kanak-kanak dulu. Saat Bapak dan Ibuku memarahiku karena jengkel terhadap kenakalanku. Pernah satu ketika, karena asyiknya bermain aku lupa harus pulang ke rumah. Karena hari sudah menjelang maghrib, orangtuaku bingung mencariku ke tetangga-tetangga sebelah rumah. Mendatangi rumah teman-temanku. Tidak hanya mereka yang mencari, tapi para tetangga dekat orangtuaku juga ikut kebingungan mencari. Padahal aku bermain di lapangan kosong berpagar tembok yang lumayan tinggi. Di situ aku bermain-main di bawah pohon keres. Dan ketika aku pulang ke rumah setelah adzan maghrib selesai berkumandang tanpa rasa bersalah, kontan orangtuaku langsung memarahiku habis-habisan. Waktu itu aku tidak bisa mengerti, mengapa anak kecil seperti aku tidak boleh bermain lama-lama, hanya itu yang ada dalam pikiranku. Dan kini diriku semakin memahami betapa orang tua sangat menyayangi anak-anaknya, darah dagingnya, dan bersedia melakukan apa pun, demi mereka.

Di sini, di pinggiran kota Bandung, tepatnya di Jatinangor Kabupaten Sumedang, sudah tujuh hari tepatnya aku menunaikan tugas yang diberikan kantor. Di sini tidak hanya orang-orang sepertiku yang memiliki maksud yang sama, mendampingi calon mahasiswa IPDN sampai dengan kepastian nama-nama yang berhak menduduki bangku kampus itu muncul. Namun banyak juga para orang tua yang merelakan waktu mereka, demi mendampingi anak-anaknya meraih asa. Di sela waktu senggang bertugas ini, seringkali aku mengobrol dengan mereka. Dengan antusias mereka bercerita tentang anak-anak mereka. Bercerita tentang betapa cerdas dan tekunnya anak-anak mereka, bagaimana perjuangan anak mereka menembus persaingan yang begitu ketat, betapa mereka begitu mengkhawatirkan kondisi anak-anak mereka di dalam sana yang nyaris tidak bisa dihubungi karena mereka tidak diperbolehkan membawa alat komunikasi apa pun. Orang tua-orang tua itu menceritakan bagaimana mereka mempersiapkan anak-anak mereka jauh-jauh hari sebelumnya. Menyisihkan sebagian penghasilan mereka untuk mendatangkan pelatih fisik khusus persiapan tes kesamaptaan, membayar biaya tes yang tidak sedikit itu, sampai dengan membiayai kehidupan mereka di sini, di Jatinangor ini, yang nyaris tanpa kepastian sampai dengan kapan mereka harus berada di sini. Orang-orang tua ini dengan setia menunggui anak-anak mereka di sini, seakan-akan mereka sendiri lah yang mengikuti tes. Barangkali di saat anak-anak mereka sedang diuji, mereka lah yang merasakan nervous yang amat sangat, sedangkan di saat yang sama anak-anak mereka saling bercanda di antara mereka. Barangkali juga apabila keinginan anak-anak mereka untuk menembus ketatnya persaingan ini bisa ditebus dengan materi, mereka akan melakukannya juga, bahkan dengan berutang sekali pun.

Kebahagiaan anak, adalah segala-galanya bagi orang tua. Begitu kira-kira dalam benak semua orang tua di muka bumi ini. Aku jadi teringat pada anakku, si mungil, Najwa. Teringat akan langkah-langkah kecilnya saat menjelajah rumah kontrakanku. Teringat tawa renyahnya saat aku menggodanya. Teringat mulutnya yang penuh dengan nasi tim saat ia makan. Rasanya aku tak akan membiarkan apa pun merenggut kebahagiaan darinya. Dengan upaya apa pun aku akan melakukannya demi membuatnya bahagia sampai ia dewasa kelak. Saat tugasku sebagai orang tua telah selesai. Bahkan sampai dengan maut menjemput kelak.

Aku juga jadi teringat kepada kedua orang tuaku. Betapa mereka sangat berjasa terhadap apa yang telah kucapai saat ini. Tanpa mereka, aku bukan apa-apa saat ini.


Jatinangor, 29 Agustus 2008

Thursday, September 20, 2007

Karenamu Aku Cemburu

Perempuan cemburu? Ah, itu sudah biasa kan? Perempuan mana yang tidak punya feeling cemburuan? Mungkin kalau ada, perlu dipertanyakan status gendernya sebagai manusia dari jenis hawa.

Itu lah yang membuatku tertarik untuk membaca buku yang berjudul "Karenamu Aku Cemburu" yang berisi kumpulan tulisan teman-teman Asma Nadia ini. Asma Nadia, adalah seorang perempuan yang aktif menulis. Karyanya yang sempat ku baca adalah novelnya yang berjudul “Sunyi”. Kedua, karyanya yang bertitel “catatan seorang istri”. Kedua-duanya banyak mengeksplorasi tentang pikiran, perasaan dan tindakan kaum hawa, terutama di tanah air. Membaca kedua karyanya itu, banyak memberikan pemahaman-pemahaman baru bagiku tentang dunia wanita. Dunia Venus yang kerap tidak mudah untuk dimengerti oleh penduduk planet Mars. Setidaknya manfaat yang ku dapatkan adalah lancarnya komunikasi dengan istri. Bukankah salah satu kunci komunikasi yang efektif adalah dengan berempati?

Membaca buku ini, membuatku sedikit geli. Dengan bahasa yang khas perempuan; emosional, melompat-lompat dari fokus pembicaraan dan kadang muncul ungkapan-ungkapan yang tidak penting, kita seperti digiring pada suasana di tengah arisan ibu-ibu PKK. Aku sendiri seperti berada di tengah-tengah riuh rendah suara cewek yang sibuk ngerumpi gosip-gosip artis di acara infotainment, persis saat masih kuliah di psikologi dulu. Dari tulisan-tulisan itu, ada beberapa pengalaman subyektif yang menurutku lucu. Tapi meskipun lucu, ini penting untuk diketahui oleh para suami atau kaum laki-laki yang masih berminat dengan perempuan J

Buku ini menginspirasiku bahwa cemburu bisa datang dari berbagai arah, bahkan dari arah yang tidak kita duga-duga. Seperti pengalaman salah satu rekan Asma Nadia, Azimah Rahayu. Cemburunya pada sang suami justru muncul karena sang mertua. Menurutku ini aneh bin ajaib. Kok bisa-bisanya seorang menantu perempuan cemburu dengan ibu mertuanya yang notabene ibu yang membesarkan sang suami. Dalam pemikiranku wajar-wajar saja jika seorang laki-laki dengan ibunya, sebagai ekspresi penghormatan bagi seseorang yang melahirkan dengan susah payah dan mengasuh dengan tulus.

Namun bagi Azimah Rahayu, kedekatan sang suami dengan ibunya malah menjadi sebuah masalah besar. Masalah ini dipicu saat mereka mudik lebaran di rumah mertuanya. Ketika satu malam sang suami meninggalkannya sendirian di kamar karena diminta untuk memijit-mijit kaki ibunya. Peristiwa ini membuat dirinya merasa tersisihkan oleh ibu mertuanya. Seakan-akan si suami ketika berada di rumah orangtuanya tidak bisa menjadi miliknya seutuhnya. Dia tidak rela berbagi, bahkan dengan mertuanya sendiri.

Pada akhir tulisannya dia mengaku saat ini sudah mulai bisa menetralisir perasaan cemburu yang disadarinya kurang wajar ini. Namun, kita para suami yang dekat dengan ibu-ibu kita rupanya perlu juga memahami kondisi seperti ini. Sebagai antisipasi jika suatu saat gejala ini muncul, kita bisa dengan sabar mendengarkan keluhan istri dan tidak dengan serta merta menyalahkan dirinya.

Cemburu juga bisa datang karena hobi sang suami. Para suami yang hobi nonton bola malam-malam, hobi main PS, hobi mancing, ngelayap malam-malam sekedar cari sate kambing, baca buku sampai berjam-jam, berhati-hatilah! Karena kesibukan anda dengan hobi anda yang bisa membuat anda lupa waktu dan lupa dunia bisa membuat istri anda merasa tersisih. Pada gilirannya bisa membuat kita repot karena para istri bisa ngambek tidak mau bicara, tidak mau masak makanan kesukaan kita dan bahkan tidak mau –TIIIIT!- (maaf, sensor), wah bisa berabe kan?

Macam-macam pintu masuknya cemburu itu, kadang membuat kita para lelaki bisa frustasi. Dari tulisan-tulisan yang dihimpun Asma Nadia ini saya bisa simpulkan pada umumnya cemburu itu muncul karena rasa tidak aman para wanita. Perasaan takut kehilangan adalah alasan utama mengapa wanita bisa cemburu membabi buta. Bahkan bisa berawal dari hal-hal yang sepele dan tidak masuk akal, seperti mimpi (Ya! Semata-mata mimpi!) yang celakanya hampir sebagian besar wanita percaya bahwa mimpi adalah alarm dari intuisinya. Jika wanita sudah merasa tidak aman, maka bunyi sms yang masuk pun bisa memicu cemburu buta, sebuta-butanya.

Buku ini ditutup dengan “lembar untuk suami” dari seseorang bernama Agus M. Irkham. Saya kurang tahu mengenai saudara Agus ini, tapi yang jelas ia adalah salah satu orang dalam jaringan penulis Lingkar Pena, seperti halnya Asma Nadia. Dia menyarankan ketika api cemburu sedang berkobar-kobar, hal pertama yang harus dilakukan oleh para suami adalah diam. Tapi bukan hanya diam yang pasif, tapi juga mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Kemudian saat suhu cemburu itu mulai mendingin, para suami harus mengajak bicara dengan sejuk. Kita wajib menanyakan, apa gerangan yang membuat sang istri bermuram durja. Tanyakan secara spesifik, apa perilaku kita yang memicu kecemburuannya. Jika memang salah, jangan segan-segan meminta maaf. Setelah itu kemukakan dialog, komunikasi yang baik setiap ada masalah yang mengganjal. Jika dengan bicara susah, kita harus mencari metode lain seperti dengan memintanya menulis dan kita bisa membalasnya dengan tulisan pula. Kenapa tidak? Banyak jalan menuju roma kan?

Terlepas dari isinya, Asma Nadia mampu meramu buku ini menjadi buku yang sangat informatif tentang apa, mengapa dan bagaimana wanita bisa cemburu. Dia bisa memperhalus kesenjangan antar tulisan dengan menyisipkan puisi-puisi yang ia buat sendiri. Saya salut pada caranya mendedikasikan karyanya untuk kepentingan perempuan. Saya kira ini lah salah satu cara yang elegan agar wanita dihormati, selain sekedar berteriak-teriak tentang persamaan gender.

Jadi, coba dibaca yuk...


Surabaya, 21 September 2007
[10:57] Resensi Buku : Asma Nadia dkk, Karenamu Aku Cemburu, Depok : PT Lingkarpena Kreativa, 2007

Friday, September 07, 2007

blue.. oh baby blue..

Sebenarnya aku sudah tahu sebelumnya lewat beberapa buku/artikel tentang baby blue sydrome. Mengalaminya? Ya jelas gak lah. Tepatnya ikut kecipratan!

Dari artikel/buku tentang kehamilan dan pasca persalinan itu aku tahu bahwa sebagian besar wanita akan mengalaminya setelah melalui persalinan. Bukan sindroma secara fisik tapi sebuah gejala emosional yang khas, yaitu perasaan tersingkir, tersisih, cemburu terhadap anak yang baru dilahirkannya. Sebuah perasaan yang muncul karena selama sembilan bulan lebih mendapat perhatian penuh dari suami dan keluarga, namun setelah tugas itu telah dilampaui perhatian serta merta beralih kepada si kecil.

Dan aku pun merasakannya pada sikap istriku, saat minggu-minggu awal sepulang dari rumah sakit.

Sepulang dari rumah sakit, praktis rumah kami menjadi ramai oleh saudara-saudara kami yang ingin menjenguk. Minggu pertama, ibuku memerlukan datang dari Banyuwangi untuk niliki cucu keempatnya dan buat mengajari kami merawat bayi mungil kami. Minggu kedua kami masih terbantu oleh kedatangan bik sih (bibinya ocha, istriku) yang rela meninggalkan sawahnya selama seminggu. Setelah itu berangsur-angsur rumah kami mulai sepi dan kami harus mulai sendiri melakukan rutinitas baru kami, merawat nana anak kami.

* * * * *

Blue..Oh Baby Blue...
Pengalaman baru merawat bayi adalah pengalaman yang luar biasa bagiku, terutama bagi istriku. Setelah biasa diperhatikan selama sembilan bulan, sekarang ganti dia yang harus pay full attention kepada bayinya. Ibarat tanaman yang biasa disiram setiap hari, kemudian jarang disiram, ditambah harus menghidupi benalu. Mungkin begitu yang dirasakan istriku.

Awalnya aku tidak begitu memperhatikan perubahan sikap ocha. Aku kira, (selayaknya) ia pasti bersuka cita atas kehadiran putri yang kami nanti-nantikan ini. Aku kira ia menikmati ketika menyusui bayinya, menggantikan popoknya dan saat memandikannya. Ternyata, kebalikannya!

Suatu malam, menjelang tidur aku memergokinya melamun sendiri di pojok kamar sambil menyusui anaknya. Tidak seperti biasa, ia tidak menyapa dan mengajakku ngobrol tentang anaknya. Dan aku mengenali sikapnya itu adalah semacam pernyataan protes. Dan biasanya kalau sudah seperti itu, hanya bisa disembuhkan dengan menghampiri, merangkulnya dan menanyakan ada masalah apa.. Cuma masalahnya, karena saat itu ia masih menyusui anaknya hal itu jadi gak bisa dilakukan.

Baru keesokan harinya aku bisa mengajaknya ngobrol. Dan seperti pada umumnya perempuan yang tidak pernah secara langsung mengungkapkan masalah, ocha sepertinya minta supaya aku mengerti tanpa harus masalahnya tanpa ia harus mengungkapkan secara gamblang. Waktu itu dia hanya bisa menahan tangis. Dan, oo oouw.., aku pun tahu..

Di saat-saat seperti ini lah terasa manfaatnya kuliah di psikologi. Aku jadi segera paham bahwa ia mengalami baby blue syndrome.

Setelah mampu mengendalikan emosinya, ia pun bercerita bahwa ia merasakan bahwa aku meskipun dekat tapi terasa jauh. Aku seperti tidak peduli dengannya, dan hanya lebih peduli dengan nana anaknya. Ia merasakan bahwa "makhluk asing" ini lah yang tiba-tiba merebut segalanya darinya. Singkatnya, istriku jealous he he....

Dan seorang perempuan yang jealous obatnya cuma satu, dirayu dan diyakinkan dengan dicium, maka rontok lah sang momok bernama blue..oh baby blue itu.

Oleh karenanya, para suami yang sedang menantikan kehadiran tangis si kecil dalam rumahnya, bersiaplah.....he he...


Sidoarjo, 7 September 2007

Thursday, August 16, 2007

ibu,kasihmu tiada ternilai

Alhamdulillah, akhirnya setelah menunggu hampir 42 minggu si adek lahir juga. Lahir Ahad pagi jam 3.10, 12 Agustus 2007 kemarin lewat persalinan normal pula :)

Sebagai seorang ayah, pengalaman ini benar2 memberikan pengalaman yang luar biasa. Bagiku pengalaman ini memberikan sebuah cakrawala baru tentang arti seorang wanita, ibu dan orang tua.

Jumat pagi, 10 Agustus 2007, menjelang shalat shubuh sebelum berangkat senam di kantor, istriku memanggilku, memperlihatkan kalau di celana dalamnya ada bercak bening dan tidak berbau, pasti bukan ompol. Melihat hal itu aku langsung memutuskan untuk tidak mengikuti senam hari itu, istriku ku suruh mandi dan aku langsung menunaikan shalat shubuh. Selesai shalat aku langsung menghubungi ibuku dan meminta saran beliau tentang kondisi istriku. Menurut beliau apa yang dialami istriku masih belum bisa dikatakan tanda-tanda persalinan. Merasa lega, istriku ku ajak jalan2 keliling kompleks perumahan tempat kami mengontrak dan setelah itu aku tetap berangkat ke kantor seperti biasa.

Jumat sore, pk. 17.00, sepulang berjalan2 keliling kompleks, istriku mengeluh kalau perutnya sedikit kejang. Tak lama setelah keluhannya itu, mendadak keluar cairan dari jalan lahirnya kira2 satu cangkir lah. Bukan hanya itu, cairan itu tidak hanya berwarna bening, tapi juga ada segaris darah segar di dalamnya. Tak mau ambil resiko, akhirnya selepas shalat maghrib kami langsung berangkat ke RS Khadijah di daerah Sepanjang. Sesampainya di sana, pihak RS menyatakan bahwa istriku harus opname. Meski belum merasa ada kontraksi yang berarti, oleh dokter kami dilarang pulang, observasi selama 24 jam harus dilakukan karena meningkatnya resiko infeksi pada ibu dan janinnya karena pecah ketuban itu.

Dan selama 24 jam penuh kami menunggu tanpa adanya reaksi, kontraksi rahim istriku. dr. Bambang, dokter kandungan tempat kami selama ini melakukan pemeriksaan kandungan, menyatakan bahwa kalau dalam 24 jam ini tidak ada reaksi, mau tak mau, suka tidak suka harus segera dilakukan induksi.

Sabtu, 11 Agustus 2007. 16.00. Waktu itu suara shalawat nabi mengumandang dari masjid sebelah RS. Memang hari itu ada perayaan Isra' Mi'raj. Dan kami pun berharap si adek akan lahir berbarengan dengan momen istimewa ini. Ditambah lagi 1 jam menjelang keputusan akhir, istriku merasakan mules, kontraksi yang mulai teratur, 15 menit sekali. Waktunya sudah dekat. Dokter pun memutuskan menambah waktu evaluasi 6 jam ke depan memberi kesempatan adanya kontraksi normal dari sang ibu. Itu artinya pukul 23.00 kalau kontraksinya tidak membuahkan apa pun, maka dr bambang akan memerintahkan bidan untuk menginduksi istriku. Ya Allah, semoga itu tidak terjadi, begitu harapan kami..

Pk. 21.00, bidan menyatakan bahwa istriku masih bukaan 2, masih lama..

Pk. 22.00, durasi kontraksi kira2 30 detik per kontraksi dan jaraknya 10 menit sekali. Kami berharap sebentar lagi si adek lahir tanpa harus diinduksi. Istriku agak gentar setelah mendengar cerita bahwa diinduksi itu sakitnya luar biasa..

Pk. 23.00, dan memang tidak ada penambahan intensitas dan durasi kontraksi. Bidan pun menghubungi dr Bambang, dan diputuskan INDUKSI!. Di saat ini, istriku berbisik padaku kalau ia tidak mau didrip, diiinduksi. Ia mungkin merasakan ketakutan yang amat sangat. Aku pun meminta waktu berpikir 30 menit pada bidan. Untungnya pada saat itu aku tidak sendirian. Ada kakak perempuan istriku dan suaminya yang memberikan dukungan pada kami. Dukungan yang sangat berarti bagi istriku, dan ia pun mengatakan : oke deh,kita coba. Aku tahu ada nada keraguan di sana, tapi setelah mengajak berdoa, keraguan itu agaknya sedikit berkurang. Sedikit gemetar aku menandatangani pernyataan setuju untuk dilakukan tindakan yang (katanya) ditakuti sebagian wanita ini. Ya Allah, berikan lah kekuatan pada istriku..

Pk. 23.30, infus berisi cairan oxitosin pun dipasang oleh bidan. Tetes demi tetes mulai mengalir ke dalam nadi ocha, istriku. 10 menit..belum terasa apa-apa.., 20 menit kami masih bisa tertawa bersama. menit ke 25 oxitosin itu rupanya mulai bekerja. Rasa sakit mulai mendera punggung dan bagian bawah perutnya. Rasa sakit itu rupanya semakin bertambah..bertambah..dan bertambah... Erangan, teriakan istighfar, keringat dingin dan rasa sakit bergantian datang. Dan aku hanya kebagian menggosok-gosok punggungnya yang makin lama makin keras, gosokan itu berubah menjadi pijatan yang kulakukan dengan kekuatan penuh lenganku. Rasa capek jelas ku rasakan, tapi aku merasa betapa tidak adilnya jika dengan rasa capek ini aku harus berhenti. Sedangkan istriku berjuang melawan rasa sakit tiada tara, di ambang batas antara hidup dan matinya.. Aku pun selalu bisikkan kalimat istighfar di telinganya setiap kali ia meneriakkan bahwa ia sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit ini.

Dan memang cairan itu membawa kemajuan. 30 menit pertama, istriku sudah mencapai bukaan 4 dan berturut 1 bukaan setiap 20-30 menit berikutnya. Namun, rasa takut dan rasa sakit rupanya sudah teraduk-aduk dalam perasaan istriku, hingga bukaan 8 ia seperti sudah tak punya daya. Bidan pun memutuskan menghubungi dokter.

40 menit kami menunggu. Istriku sudah berulangkali mengerang kesakitan, menggigil kedinginan, berulang kali pula ku seka keringat dingin yang mengucur di kepalanya. Baratajaya ke Sepanjang, bukan lah jarak yang pendek. Kebetulan aku sudah tahu data pak dokter bambang itu dari SIMPEG di kantor. Padahal hari ini malam minggu. Jalanan pasti ramai, begitu pikirku. Dan aku pun hanya bisa berdoa, kuatkan istriku ya Allah...

Ahad, 12 Agustus, 02.30.
Assalamualaikum.. suara berat terdengar dari luar ruang bersalin. Ah, akhirnya dr Bambang datang juga..Dan setelah melakukan sedikit persiapan, akhirnya fase persalinan aktif pun dimulai. Aku diminta memegang kaki istriku. Kedua kakinya di-begegeh-kan, seperti di film-film. Saat kontraksi datang, ia meminta istriku mendorong, dan tek..tek..(bunyinya seperti tahu tek he he...), rupanya pak dokter merobek dengan sengaja jalan lahir istriku, dengan begitu didapatlah bukaan 10 dengan sedikit paksaan.

Proses mengejan dimulai.
Mengejan pertama, ujung kepala berambut itu mulai terlihat. Tapi berhenti sampai di situ, istriku kehabisan nafas.
Mengejan kedua, ada kemajuan, tapi sekali lagi istriku kehabisan nafas.
Mengejan ketiga, kemajuan signifikan, ujung kepala itu terlihat maju kira2 1 cm, tapi masuk lagi. Karena sekali lagi kehabisan nafas.
Mengejan keempat, sama dengan yang ketiga. Di titik ini muncul keraguanku, apakah istriku masih kuat melakukannya lagi?Ku semangati dia dengan membisikkan, sekali lagi sayang.. Kepala anakmu sudah terlihat..
Kelima, benar-benar energi yang luar biasa. Di saat ini lah awal kehidupan itu mulai bekerja. Dorongan istriku menunjukkan hasilnya. Awalnya kepalanya, kemudian bahunya yang terlihat lemas seperti agar-agar, perutnya, kakinya dan terakhir tali pusarnya. Dan di saat tali pusar itu dipotong, terdengar lah suara merdu tangisan bayi yang kami tunggu-tunggu. Alhamdulillah....

Ah, benar2 pengorbanan seorang wanita, seorang ibu itu tiada duanya. Melawan rasa sakit pun ia rela, asal sang anak lahir dengan selamat. Sedangkan seringkali kita tak patuh pada beliau. Betapa sakitnya hati beliau, melebihi rasa sakitnya saat melahirkan kita dulu. Benar-benar, kejadian ini semakin membuatku semakin respek pada wanita-wanita di sekitarku; ibuku..dan juga istriku.. Semakin sayang pada kalian berdua..


Sidoarjo, 17 Agustus 2007
[9:37 am]

Labels:

Monday, July 23, 2007

hati-hati dengan janji

Kunci pertumbuhan karakter adalah berjanji dan kemudian selalu belajar menepatinya (Stephen Covey). Dan itulah yang terjadi pada diriku saat ini. Kurang hati-hati dalam membuat janji kepada orang lain, sehingga mendapat kesan kurang amanah.

Beberapa waktu yang lalu, salah seorang teman kantor menawariku untuk menjadi bagian tim pengawas pemain pada kegiatan lomba tujuhbelasan di instansi tempatku bekerja. Tugasnya cukup mudah, yaitu memastikan bahwa peserta yang mengikuti lomba adalah benar-benar seorang pejabat struktural. Artinya peserta adalah orang-orang yang berada di jajaran manajerial di dalam organisasinya. Dan sebagai orang berkecimpung di bidang kepegawaian, tugas tersebut sebenarnya tidak jauh-jauh dari tugas dan tanggung jawab dalam keseharian di kantor. Maka aku pun mengiyakan tawaran tersebut.

Bodohnya, aku tidak menanyakan bagaimana tugas itu dilaksanakan di lapangan? Berapa lama dan kapan tugas itu dijalankan. Benar-benar suatu keteledoran karena kurang teliti sebelum mengambil keputusan yang bernilai JANJI.

Aku menerima jadwal pertandingan beberapa jam sebelum kegiatan itu dilaksanakan. Sebenarnya waktu aku menerima schedule itu aku terkaget-kaget, karena ternyata kegiatan itu dilaksanakan setiap hari dan celakanya sampai malam hari. Padahal awalnya aku mengira kegiatan hanya dilaksanakan sampai menjelang maghrib dan itu pun tidak setiap hari, melainkan hanya pada akhir pekan saja. Tapi aku berusaha tenang, karena teringat penjelasan salah seorang teman bahwa tugasnya bisa sewaktu-waktu digantikan. Dan berangkat lah aku menuju tempat lomba, di wilayah injoko, tepatnya di kompleks dinas pemerintah propinsi di sana.

Ketika menjalankan tugas pertama kali itu lah, aku menyadari bahwa aku benar-benar tidak mungkin bergabung di dalam tim itu, karena membutuhkan perhatian dan kehadiran penuh saat kegiatan. Setiap saat bisa muncul masalah yang butuh penanganan segera dan harus ditindaklanjuti secara profesional. Fiuuuh... Aku tidak akan bisa memenuhi janji yang sudah terlanjur aku buat, karena saat ini istriku sudah memasuki minggu2 akhir kehamilannya. Ia diperkirakan melahirkan tanggal 25 bulan ini.

Akhirnya, ku putuskan untuk mengutarakan kepada teman2 dan pimpinan tim tersebut. Dan mereka bisa menerima keputusanku untuk mundur dari tim tersebut. Tapi tentu saja gurat kekecewaan tidak bisa dihilangkan dari nada bicara dan raut muka mereka. Aku telah menarik kepercayaan yang mereka berikan. Mukaku tercoreng di hadapan mereka. Namun tidak mengapa.. Keputusan ini adalah keputusan yang paling tepat. Aku tidak mungkin meninggalkan istriku yang benar2 membutuhkan kehadiranku setiap saat. Keadaan istriku saat ini adalah my most highly priority. Kekecewaan dari sepuluh teman, tidak lah sebanding dengan ketidakpercayaan seorang istri apabila kita mengkhianati kepercayaan yang telah ia berikan. Maka biarlah teman-temanku saat ini kecewa terhadap keteledoran yang telah ku perbuat. Di waktu mendatang aku akan perbaiki kembali kepercayaan mereka.


Surabaya, 23 Juli 2007