Friday, January 12, 2007

Rumahku

Kali ini, aku ingin berbagi cerita tentang rumah. Tapi bukan sembarang rumah, melainkan rumah tanggaku yang baru kujalani sekitar 3 bulan ini. Banyak cerita dari kehidupan baru ini, ada suka.. dan tentunya duka juga tak luput mengiringi.

Ocha istriku, sebenarnya bukan orang baru dalam kehidupanku. Jauh sebelum kami akrab, kami saling mengenal sebagai kakak-adik angkatan di kampus. Dia satu tahun di bawahku, tapi beda bidang studi. Tapi itu pun hanya sekedar kenal nama dan wajah. Kenal pun hanya sekedar menyapa saja, karena kebetulan temanku -yulis- satu kos dengannya. Dari hanya sekedar kenal itu kesan pertama yang aku tangkap dari istriku ini adalah dia adalah orang yang pendiam dan bersahaja. Yang membuat sedikit memberikan chemistry saat itu adalah hidung mancung dan jilbab putihnya. Sekedar chemistry saja, tanpa tindak lanjut.

Sekarang, tanpa terasa sudah 3 bulan sejak pernikahan kami. Waktu yang sekilas pendek, tapi justru dari perjalanan waktu yang cuma sebentar ini aku justru merasa belajar banyak hal.

Tak salah jika pasangan hidup kita dalam bahasa Jawa diistilahkan sebagai Garwa. Artinya sigarane nyawa, separuh dari jiwa kita. Jika pasangan kita adalah separuh dari diri kita sendiri, maka dia tak ubahnya adalah kita sendiri. Istri/suami kita ini yang akhirnya menjadi tempat kita mengaca tentang apa dan siapa diri kita sebenarnya. Betapa jika kita mau berusaha mencari hikmah atas kejadian-kejadian yang kita lewati bersama, maka kita mendapatkan hal-hal yang justru tak pernah kita tahu sebelum kita menikah tentang diri kita sendiri.

Begitu pula selama 3 bulan pernikahanku dengan Ocha. Hidup bersama dengannya membukakan mataku betapa masih kurang ilmu yang kita miliki. Betapa masih banyak kekurangan yang dimiliki oleh diri ini.

Menjelang pernikahan, aku yakin bahwa ilmu yang aku peroleh di fakultas psikologi akan banyak membantu. Ilmu yang kumaksud adalah segelintir teori tentang perkembangan masa dewasa awal, serta sedikit teori tentang perbedaan struktur emosi laki-laki dan perempuan. Namun teori tanpa praktek, tentunya belum banyak membantu. Hanya sekedar peta, tanpa menunjukkan medan yang sebenarnya.

Kehidupan rumah tanggaku ini, seperti halnya -mungkin- pasangan-pasangan baru lainnya juga diwarnai dengan hal-hal emosional. Pertengkaran-pertengkaran kecil, ketidaknyamanan terhadap kebiasaan-kebiasaan pasangan, sikap manja istriku berhadapan dengan sikap keras yang kumiliki adalah kerikil-kerikil dalam perjalanan rumah tangga kami yang seumur jagung ini. Sungguh, apabila permasalahan-permasalahan kecil yang emosional itu jika tidak dihadapi dengan kepala dingin, sikap sabar dan ikhlas maka niscaya akan berubah menjadi perang baratha yudha.

Hikmah apa yang ku dapat dari pernikahan ini? Ternyata sikap sabar dan ikhlas adalah software utama yang harus kumiliki saat ini. Sikap yang begitu mudah diucapkan dan dinasehatkan, namun cukup sulit melakukannya. Rasanya sikap ini pun relevan dalam setiap aspek kehidupan di luar pernikahan kita. Dalam dunia kerja sikap sabar dan ikhlas -tentunya dalam konteks yang sesuai- akan meningkatkan kinerja kita.

Saat ini, hal itu lah yang baru aku pelajari dari rumahku. Namun waktu terus berjalan. Jika Allah mengijinkan 7 bulan lagi aku akan menjadi seorang ayah. Sungguh sebuah amanah yang berat. mendidik seorang anak manusia sehingga ia menjadi sukses dunia-akhirat. Tentunya ada lagi hal baru yang akan kupelajari..

Hmm.. Alhamdulillah saat ini aku telah dianugerahkan sebuah "rumah". Semoga teman-teman lain yang belum sampai pada tahapan perkembangan ini akan segera melampauinya. Sehingga kita bisa sama-sama belajar. Right? :)