Thursday, April 12, 2007

Hati-hati dengan persepsi anda

Hari itu, jam satu siang, stasiun pengisian bahan bakar itu terlihat lengang. Cuma ada tujuh kendaraan mengantre, dilayani empat orang petugas masing-masing dua orang untuk satu mesin pompa. Dari kejauhan nampak seseorang menuntun motor supra X miliknya. Rupanya dia kehabisan bensin. Dengan tersengal-sengal karena kelelahan ia langsung menuju deretan yang baru ada tiga motor yang antre, berharap segera terlayani.

Belum lagi benar-benar tepat sampai pada deretan antreannya, ia turun dari motornya. Kira-kira satu meter dari motor di depannya. Motor bebek memang merepotkan kalau kita mau mengisi bensinnya. Kita harus turun untuk membuka jok yang menghalangi lubang tanki. Agak lama ia berusaha membuka jok motornya. Mungkin kuncinya macet.

Saat tengah berusaha membuka jok motornya, satu motor yang tengah kehausan datang, minta diisi. Pengendara motor kedua itu langsung menuju ke antrean yang dituju pengendara yang pertama. Ia langsung mengambil posisi agak tepat di belakang motor-motor yang sudah antre. Menyadari posisinya diserobot, pengendara motor pertama langsung berusaha maju. Hampir bersamaan dengan datangnya motor kedua, sehingga ban depan kedua motor itu hampir bertabrakan.

Pengendara pertama berusaha mempertahankan posisinya. Ia terus berusaha maju. Tapi pengendara kedua tak mau mengalah, ia pun terus maju. Karena sama-sama tak mau mengalah keduanya sama-sama tak bisa maju.

“Lho mas, anda ini bagaimana?”, kata pengendara pertama sambil memandang tajam. Marah.
“Antre mas! Antre! Anda tadi tidak antre. Saya yang antre di sini!”, pengendara kedua membela diri
“Saya datang duluan!”, pengendara pertama mempertahankan diri.
“Anda tadi ada di deretan sana!”, pengendara kedua menunjuk ke tempat pengendara pertama tadi berhenti. Matanya melotot, dengan nada bicara yang semakin meninggi.
Semua mata memandang. Entah apa yang mereka pikirkan. Mungkin mereka berpikir, kedua orang ini mungkin sama-sama capek karena kepanasan. Mungkin sebagian berpikir, pengendara pertama salah karena tidak langsung antre. Sebagian yang lain menyalahkan pengendara kedua yang main serobot saja.
Pemilik Supra X sesaat terdiam. Alis matanya saling berpaut seperti dua calok yang disatukan ujung-ujungnya.
“Ya sudah mas, monggo, anda duluan.”
Pengendara kedua terdiam.
“Ya sudah. Monggo!”, tegas pengendara pertama sambil menyorongkan tangannya ke arah antrean. Sesaat kemudian pengendara kedua langsung mengambil tempat antrean itu. Pengendara pertama mengambil posisi di belakangnya. Entah apa yang sedang dipikirkan keduanya.

# # # # #

Anda mungkin pernah menghadapi situasi seperti ini. Apalagi anda yang tinggal di kota-kota besar seperti Surabaya, situasi seperti ini agaknya sudah akrab dalam keseharian kita. Situasi yang sangat emosional, yang apabila kita lepas kontrol justru kita sendiri yang akan merugi.
Jika anda sendiri berada dalam situasi ini apa yang akan anda lakukan? Mempertahankan pendapat anda bahwa anda benar, atau justru mengalah?

Jika anda lebih memilih untuk ngotot mempertahankan pendapat bahwa anda lah yang paling benar, maka itu adalah pilihan yang wajar. Wajar karena anda memiliki fakta yang anda klaim sebagai fakta yang tervalid dan terakurat. Fakta yang anda anggap sebagai satu-satunya kebenaran yang secara moral menuntut kepribadian kita untuk mempertahankannya. Dan ini memang sunnatullah, hukumnya Allah. Hati nurani kita akan selalu berkata yang benar harus menang melawan yang salah.

Dalam situasi lain yang kerap muncul di berita-berita di TV misalnya, kita sering melihat berita penggusuran bedhak-bedhak pedagang kaki lima oleh SATPOL PP yang ditentang habis-habisan oleh pemilik bedhak yang terkadang sudah puluhan tahun berjualan di tempat itu. Mungkin dalam benak si pedagang kaki lima mereka tidak bersalah berdagang di tempat itu, karena toh sudah bertahun-tahun mereka berada di situ dan tidak diapa-apakan. Mereka harus menghidupi anak-anak mereka di tengah mahalnya biaya pendidikan. “Pemerintah tak akan menjamin kehidupan saya lebih baik, kalau bukan saya sendiri yang berjuang”, mungkin begitu pemikiran mereka. Mereka ini bahkan membayar “pajak” kepada oknum-oknum tertentu, sehingga dalam nalar mereka jualan mereka sudah legal.

Bagi SATPOL PP mungkin satu-satunya kebenaran adalah surat perintah penggusuran yang datang dari atasan mereka. Bagi mereka doktrin “Pengamanan PERDA” adalah satu-satunya kebenaran sejati. Dan lawan mereka, para pedagang kaki lima, adalah pelanggar kebenaran yang harus dibasmi segera. Maka yang benar harus menang!

Dalam ilustrasi yang lain, saat saya masih kecil banyak cerita-cerita dalam video yang serupa dengan hal ini. Megaloman, Google Five, Gaban, Zabogar adalah tokoh-tokoh yang selalu digambarkan pembela kebenaran. Para monster yang mengganggu ketenangan penduduk bumi akan mereka hancurkan. Megaloman dengan rambut apinya, Google dengan formasi robot raksasanya, Gaban dengan baju robotnya, Zabogar yang dengan perintah bosnya akan segera berubah dari rupa motor menjadi jagoan sejati. Siap menghancurkan kejahatan. Yang salah harus kalah!

Maka tak salah kalau situasi di pom bensin itu kerapkali terjadi. Karena dalam bawah sadar kita telah tertanam bahwa kalau kita benar, jangan segan melawan, karena kebaikan harus lah menang melawan yang jahat.

Masalahnya adalah apa yang akan terjadi setelah itu?
Banyak kemungkinan. Bisa jadi lawan kita mengalah, mempersilahkan kita maju duluan. Tapi bisa juga sebaliknya, kita tidak bisa segera mendapatkan tujuan awal kita yaitu mengisi bensin karena terlalu lama otot-ototan. Yang parah dan konyol, dan ini pun kadang juga terjadi, kalau gara-gara ngotot mempertahankan posisi akhirnya saling tukar bogem mentah. Kepala benjut, badan sakit, dan lebih konyol lagi kalau harus masuk rumah sakit.

BERSIKAP LEBIH BIJAK
Saya tidak akan mengatakan bahwa mengalah adalah sikap yang terbaik dalam situasi seperti ini. Tapi kita harus bersikap lebih bijak dalam situasi seperti ini. Sikap bijak yang saya maksud adalah dengan tidak berpikir sempit dalam segala situasi.

Dalam sejarah, junjungan kita Rasulullah SAW pernah dalam situasi yang lebih parah. Ketika ia hendak berdakwah di salah satu tempat ia sempat ditolak oleh penduduk di sana dengan cara dilempari batu bahkan dalam kisahnya sampai gigi beliau rontok. Di saat seperti itu malaikat Jibril datang menawarkan bantuan. Sang Malaikat menawarkan untuk mengangkat sebuah gunung untuk dijatuhkan ke pemukiman itu sebagai balasan dari perbuatan jahat mereka. Namun justru hal tersebut ditolak oleh Rasulullah. Ia malah berdoa kepada Allah untuk mengampuni kaum itu karena ketidaktahuan mereka. Dan sejarah pun akhirnya mencatat bahwa kaum itu pun akhirnya menjadi pengikut Rasulullah yang setia.

Nah, betapa Rasulullah lebih mementingkan sikap daripada mengedepankan fakta. Fakta yang bukan main-main karena didukung oleh kesaksian malaikat, makhluk Allah yang dikenal kepatuhannya kepada Allah. (Ternyata malaikat pun bisa terpancing emosinya )

Dalam literatur-literatur psikologi, dalam struktur otak manusia ada sesuatu yang menjadi pengatur respon emosi manusia. Benda itu bernama Amigdala. Dalam situasi normal stimulus yang diterima oleh indera kita akan disalurkan ke struktur rasional otak yang bernama cortex melalui amigdala dan kemudian muncullah respon kita dalam hitungan se-per-sekian ratus detik. Namun dalam situasi darurat terkadang respon kita muncul dari amigdala tanpa disalurkan ke cortex. Mekanisme ini sebenarnya muncul sebagai mekanisme manusia dalam mempertahankan diri untuk hidup. Mekanisme ini penting sekali untuk mendukung kita mengambil keputusan-keputusan penting di kala darurat. Namun menjadi tidak relevan kalau “ancaman” emosional yang sebenarnya bisa kita sikapi secara bijak dan rasional direspon secara emosional pula oleh amigdala dan merugikan kita dalam jangka panjang.

Orang yang cerdas secara emosi akan menghindari “pembajakan emosi” itu dengan berusaha berpikir secara rasional. Memikirkan respon yang harus diberikan beserta implikasi-implikasi yang akan ia terima selanjutnya dari perbuatan yang hendak ia lakukan. Rasul telah memberikan tuntunannya dalam menghadapi “pembajakan emosi” ini. Beliau dalam salah satu hadisnya memberikan tuntunannya untuk meredam respon yang emosional. Menurut beliau jika kita marah, maka hendaklah kita diam sejenak. Jika kita dalam keadaan berdiri maka hendaklah kita duduk. Jika kita duduk hendaklah kita berbaring. Intinya kita harus rileks sejenak melemaskan pikiran kita sehingga kita bisa berpikir rasional.

# # # # #

Sebenarnya kisah pengendara motor yang saya ceritakan dalam tulisan di atas adalah kisah yang saya alami sendiri. Saya ketika itu saya lebih memilih mengalah karena saya yakin bahwa kami sama-sama sedang merasa menjadi pihak yang paling benar. Dalam situasi seperti itu maka tak akan pernah ditemukan titik temu jika kita ngotot dalam posisi masing-masing. Saya teringat apa yang diajarkan dosen saya, dua orang atau dua pihak dengan mindset yang berseberangan tak akan pernah menemukan kesepakatan yang damai. Jadi saat itu saya lebih memilih bersikap untuk membayangkan bahwa mungkin orang itu sedang kebelet sehingga ia ingin cepat-cepat dilayani petugas SPBU. Dan karenanya akhirnya saya pun bisa memakluminya.
Kisah tersebut ditulis 21 Februari 2007
Baru saya selesaikan 6 Maret 2007, 1130 AM