Saturday, June 30, 2007

Hmm.. sebulan lagi nih

Hmm.. Tidak terasa, kurang sebulan lagi tangisan si kecil akan meramaikan rumah kami. Tangisan yang bakal membuat kami terbangun di malam hari, yang mungkin akan membuat kami terkantuk-kantuk saat kami bekerja. Tangisan yang akan membuat seisi rumah dibuat repot karenanya. Tapi, justru tangisan (dan bau ompolnya) lah yang membuat kami rindu ingin segera berjumpa dengannya..

Satu bulan lagi, saat-saat yang bisa kami nikmati berdua. Makanya, masa-masa ini benar-benar ingin kami nikmati. Terkadang malam hari kami lewatkan sekedar mencari nasi bebek di warung favorit kami, nongkrong sambil minum jamu di taman pondok jati, nyari gorengan buat cemilan waktu nonton tv. Tak jarang, malam sepulang kerja hanya kami manfaatkan buat ngobrol di rumah. Berdebat mengenai nama anak kami, dua.. tiga.. suku kata. Berdebat tentang si kecil bakal lebih mirip siapa (termasuk kulit hitamnya bakal ikut bapaknya apa ibunya he he..). Atau sekedar mengelus-ngelus perut istriku, apalagi si adek yang seringkali merespon kalau dielus-elus dan diajak ngomong.

Sebulan.. Bukan waktu yang lama.
Semoga Tuhan mengaruniakan keselamatan bagi istri dan anakku tercinta..


Sukoasri, 30 Juni 2007
[15:13]

Monday, June 18, 2007

Pagi Seorang PNS & Istrinya

Hari ini begitu membosankan. Persis seperti hari-hari yang lain. Entah sampai kapan kondisi seperti ini akan dialami oleh PNS di instansi-instansi daerah seperti diriku.

Hari ini seperti biasa kulakoni rutinitas yang telah menjadi siklus harianku dalam kurun waktu setahun ini. Sebagai seorang muslim, bangun shubuh adalah satu hal yang biasa. Bahkan justru sebuah kewajiban. Namun bagi seorang PNS, bangun shubuh berarti sekalian persiapan untuk berangkat bekerja. Dan tentunya karena telah memiliki sebuah keluarga, istriku harus rela turut bangun lebih awal untuk menyiapkan kebutuhan-kebutuhanku sebelum berangkat ke kantor. Membikinkan segelas kopi panas, menanak nasi, berbelanja ke pasar dan kemudian memasak ekstra kilat supaya aku –sang suami– tidak telat berangkat kerja. Mungkin bagi istri seorang PNS, pagi adalah waktu tersibuk dalam hidupnya. Penuh hiruk pikuk.

Bagi istriku yang juga seorang pekerja di suatu perusahaan kontraktor di Surabaya, mungkin waktu-waktu setelah aku berangkat sampai dia berangkat ke kantornya adalah waktu yang agak menyisakan ruang santai baginya. Hanya saja satu jam kesibukannya di awal hari rasanya menjadi sia-sia jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan suaminya ketika ia telah tiba di kantornya. Setidaknya ini yang menjadi bahan perenunganku akhir-akhir ini.

Beberapa waktu yang lalu aku terlibat diskusi dengan beberapa orang rekan sekantor mengenai apa yang dituntut dari seorang pegawai negeri sipil di institusi pemerintahan? Ternyata jawabannya bukan mampu bekerja dengan baik menggunakan komputer misalnya, atau mampu membuat perencanaan kerja untuk lingkup kerja dan tanggung jawabnya sendiri. Tapi cukup DATANG SEBELUM JAM APEL PAGI. Itu saja yang dituntut bagi seorang PNS, dalam diskusi kami itu.

Dan memang begitu lah yang ku alami. Seperti yang terjadi padaku hari ini. Hari ini tidak ada apel pagi, melainkan upacara rutin tiap tanggal tujuh belas tiap bulannya. Hari ini aku datang pagi sekali. Jarum panjang di arlojiku menunjuk antara angka empat dan lima, sedangkan jarum pendeknya berada di antara angka enam dan tujuh. Parkir motor pun masih lengang sehingga aku masih bisa memarkir motorku di bagian terdepan dari tempat parkir kantor. Setelah mengambil kopiah di lantai tiga tempatku bekerja aku langsung turun menuju tempat absensi untuk menunaikan kewajiban menjaga absensi para pejabat eselon tiga dan empat di tempatku.

Selepas upacara, seperti biasa aku kembali menuju tempat bekerjaku di lantai tiga. Dan ritual membosankan itu pun kembali terjadi. Tidak ada sesuatu pun yang bisa ku kerja kan pagi itu. Jawa Pos sedang dibaca seorang rekan. Akhirnya Bhirawa yang tergeletak di meja rekanku ku sabet untuk ku baca. Seperti biasa, tidak ada yang menarik. Bhirawa seringkali hanya berisi tentang kasus-kasus korupsi yang sedang menimpa pejabat-pejabat di tempatku. Memang akhir-akhir ini pejabat di tempatku mulai ketar-ketir akibat perbuatannya di masa lampau. Dalam pengamatanku tidak semuanya pantas menanggung kesalahan, karena sebagian mungkin tidak khatam membaca perundangan tentang pengadaan barang, atau mungkin tidak berani membantah atau mengkritisi disposisi atasannya. Dan terus terang aku sudah bosan dengan berita yang itu-itu saja. Hanya butuh waktu lima menit untuk membaca headline. Halaman-halaman lain cukup dibaca judul dan lead-leadnya saja.

Selesai membaca Bhirawa, ku buka laci mejaku dan mengambil sebuah buku yang sengaja ku bawa dari rumah. Spiritual Quotient karya Danah Zohar & Ian Marshall. Beberapa waktu terakhir ini memang aku berusaha membuat komitmen untuk membaca kembali buku-buku psikologi yang dulu pernah ku baca. Menyegarkan kembali ilmu yang kuperoleh, begitu maksudku. Hanya saja entah kenapa pagi itu aku kurang bergairah untuk membaca buku-buku berat macam itu. Ku taruh kembali buku itu di laci meja. Ku lihat sekelilingku, di deretan meja komputer sejumlah rekan-rekan sudah sibuk mengutak-atik komputer. Entah apa yang mereka kerjakan. Mungkin mengetik draft surat untuk diajukan ke kepala sub bagian, atau justru nge-game? Yah seperti itu lah keseharian mereka. Dan aku tak perlu heran.

Sungguh kondisi seperti ini seringkali terjadi padaku. Bingung mau ngerjain apa? Atau apa yang bisa ku kerjakan sekarang? Kadangkala memang ada kerjaan ngetik surat. Ya, ngetik surat. Terkadang kita tinggal mengganti subyek, obyek, identitas dalam surat itu. Fasilitas mail merge pada ms office akan mengefesienkan model pekerjaan seperti ini. Atau sedikit mengarang, istilah orang-orang di tempatku “ngonsep surat” (iya, ngonsep surat! Jangan salah sangka, bukan mengonsep sebuah program atau membuat perencanaan atau memberikan analisa suatu permasalahan he he..). Biasanya si bos hanya sedikit memperhatikan content surat, karena di tempatku sekarang ini lebih banyak mengurus administrasi saja. Jadi tampilan surat lah yang ia lebih perhatikan. “mas, ini tolong kurang kenceng.”, “mas ini kurang ke kiri, kurang ke kanan”, “mas ini hurufnya kegedhean, yang miji-miji gitu lho mas…”, yang lainnya, “mas, kata ‘dipertanggungjawabkan’ mestinya ini pake spasi apa nggak ya?” kadang-kadang juga, “mas, tolong ini difotokopikan masing-masing dua kali.” (he he he….) Tidak mengapa, tugas fotokopi pun akan kukerjakan dengan penuh tanggung jawab dan ikhlas (insyaAllah jauh dari sifat nggrundel), tapi kalau pas gak ada kerjaan seperti hari ini?

Kalau kondisi seperti ini melanda diriku, terus terang muncul perasaan bersalah pada istriku. Merasa bersalah kalau ingat bagaimana dia harus pagi-pagi ke pasar buat menyiapkan sarapanku. Belum lagi kalau aku bilang padanya, “Dik, sepuluh menit lagi aku berangkat.” Padahal masakannya masih belum lagi diselesaikannya. Dalam kondisi kepepet seperti ini biasanya ia akan mengajukan opsi, “telur ceplok saja ya mas..” Dan aku sebagai suami yang bikin dia pontang-panting sungguh tidak bijak kalau aku tidak mengiyakan solusinya itu. Hati kecilku berkata, “Duh, rasanya sia-sia dik pontang-pantingmu pagi tadi. Suamimu ini tidak melakukan apa pun di sini. Kalau pagi datang koyok iyo-iyo’o suamimu ini. Seakan-akan bakal melaksanakan tugas yang maha penting, melayani masyarakat sebagaimana filosofi seorang civil servant. Tapi lihat, kenyataannya suamimu ini hanya termangu-mangu di sini. Mondar-mandir, bingung apa yang mau dikerjakan.”

Dan itu lah yang terjadi hari ini. Sampai akhirnya diriku tergerak untuk menuju komputer tempatku biasa menulis dan lahirlah tulisan ini. Yah, semoga zeit geist, sang semangat zaman akan segera membawa negeri ini ke peradaban yang lebih baik. Sehingga dunia birokrasi tak akan melahirkan lebih banyak lagi pecundang-pecundang, namun justru akan melahirkan pejuang yang ikhlas bagi negeri ini.
Amieen….


(Kapan ya masa itu datang??)
Jl. Pahlawan 110, 18 Juni 2007
[14:52 pm]

Friday, June 15, 2007

Motorku ketabrak(apa nabrak)?

Sebuah kejadian mengejutkan (tapi "menyukurkan") barusan ku alami. Barusan aku ketabrak motor sepulang dari apotek beliin obatnya ocha. Hmmmf.....

Kejadiannya barusan, belum lewat 1 jam yang lalu. Ceritanya begini. Sehabis beli obat dari apotek di Sepanjang, dengan naik motor bututku itu aku pulang ke kontrakan. Kendaraan memang agak rame di daerah jalan raya sepanjang dan raya taman. Seperti biasa aku melaju dengan kecepatan sedang, yah.. kira-kira 40-50 km/jam lah. Truk tronton, mobil, kendaraan umum, motor berjubel di situ. Gak sampe macet, rame lancar begitu istilah penyiar suara surabaya kalo mengistilahkan kendaraan padat tapi tetap lancar.

Nah, setelah melewati perlintasan kereta dekat pasar sepanjang, kendaraan mulai agak lengang. Tapi, ternyata ini awal musibah. Di depanku ada truk kosong yang posisinya agak ke tengah, menginjak garis marka putus-putus, jadi ku pikir dia mau mbalap mobil or something di depannya. Naluri seorang pengendara motor membuatku mengambil posisi sebelah kiri di belakang truk kosong itu tadi. Biar bisa cepet ngambil posisi kosong begitu pikirku. Tapi entah mengapa, truk itu tiba-tiba banting stir ke kiri dan ciiiitt....aku langsung menginjak rem, belakang dan depan sekaligus! dan..bruaaak!!! motorku oleng, ketabrak dari belakang. Rupanya tadi ada motor persis di belakangku.

Seorang bapak dengan motor (butut juga) berplat merah terjatuh. Refleks, kuhentikan motorku dan bertanya, "bapak gak apa-apa pak??". Dia diam saja, sambil berdiri dan mendirikan motornya yang terjatuh kemudian memeriksa bagian depan motornya. Aku pun juga begitu, secara spontan kuperiksa bagian belakang motorku. Dan gak apa-apa. Sekali lagi ku tanya bapak bermotor plat merah itu tadi, "bapak gak pa pa tah pak?". Dia menggeleng, tapi dengan muka pucat dia berusaha dengan menunjukkan ban depannya yang bolong, entah kena apa? Mungkin kena baut "penyeret" ban belakangku.

Melihat ekspresinya, sepertinya dia ingin bilang, "mas, aku gak apa-apa, tapi gimana nih motor saya." Tapi dia gak bilang itu, justru mempertegas dengan mengatakan, "sampeyan tadi ngerem ndadak."

Melihat ekspresi dan penampilannya rasanya bikin gak tega. Mukanya pucat, seperti bingung. Penampilannya yang lusuh dan ditambah dengan penampilan motornya yang butut, gak terawat, ban depannya udah tipis sepertinya emang udah waktunya ganti. Akhirnya membuatku menawarkan membantu penggantian ban depannya. Dan bapak itu setuju. Padahal waktu itu, duitku di dompet cuman 40 ribu. Sebulan yang lalu aku barusan ganti ban luar harganya 100ribuan. Sekarang aku mikir, kok nekad ya aku nawarin kayak gitu??

Jadi, bareng-bareng kami menuntun motor masing-masing ke toko motor terdekat. Herannya menjelang mendekati sebuah toko motor, sang bapak berhenti dan menoleh padaku, "mas, belinya di pasar aja mas, jangan di sini, mahal." Sesaat aku berpikir lagi, wah bapak ini kok tau ya kalo aku lagi bokek? "Mmm, bapak gak apa-apa dibelikan ban bekas?". Si bapak ini tersenyum, dan bilang, "gak apa-apa mas..", dan lantas langsung menstarter motornya menuju los ban bekas di pasar sepanjang. Di sana aku bisa dapat ban bekas ukuran 250 x 18 luar dan dalamnya dengan ngeluarkan duit 35 ribu doang! Padahal kalo baru mungkin bisa sampe 80-90 ribuan. Setelah kuberikan ke bapak itu dan minta maaf karena kejadian itu, akhirnya aku melenggang pulang dengan lega.

Di jalan aku membayangkan kembali kejadian tadi. Mengagetkan, lucu sekaligus membuatku bersyukur. Untung bapak itu tidak menuntut macam-macam. Dia cukup bijaksana untuk tidak membuat dompetku bolong dan akhirnya bisa ku pake ke warnet dan sekarang bisa menuliskan pengalaman ini di blogku ini..

Oya, sebelum ketabrak (apa nabrak ya?) tadi di depanku ada seorang pengendara motor berplat merah dengan membawa ban bekas di belakang motornya. Jujur, melihat ban bekas itu aku berkhayal membayangkan diriku berada di pasar ban bekas. Dan ternyata, gak lama kemudian diriku pun berada di situ! he he....


Sukoasri, 16 Juni 2007
[10:47 am]

Friday, June 08, 2007

Pencerahan dari Emha

Andaikan melemparkan benda ke kepala orang lain adalah pasti kejahatan, maka tindakan tidak melemparkan adalah pasti kebaikan. Maka, lagi, keadaan dilempar oleh orang lain adalah bukan hanya kebaikan, tapi juga keuntungan. Investasi. Aku menjadi mendapatkan sesuatu yang sebenarnya bukan hakku, aku akan memperoleh kemaslahatan yang semula bukan bagianku. (Emha, 2007:13)

Penggalan kalimat di atas adalah potongan tulisan Emha Ainun Nadjib dalam bukunya yang berjudul “Istriku Seribu” (2007). Dalam bukunya tersebut ia bercerita ketika ingin meminta pendapat Yai Sudrun dengan menunjukkan karangannya tentang poligami justru sang Yai melemparnya dengan karangannya itu, tapi anehnya ia menganggap lemparan Yai Sudrun justru sebuah berkat baginya. Bahkan andaikata lemparan Yai Sudrun meleset beberapa inci dari kepalanya maka ia akan berusaha menggeser posisinya agar kepalanya terkena lemparan. Sekali lagi karena ingin berkatnya Yai Sudrun. Sebuah pemikiran yang aneh menurutku. Atau justru anarkis?

Aku mencoba membayangkan, andaikan aku dalam posisi Emha, jangankan dilempar buku dilempar sepotong kertas pun mungkin aku akan merasa tersinggung. Kan aku hanya ingin meminta pendapat Yai Sudrun. Lha kok malah dilempar? Kenapa tidak ngomong saja kalau Yai Sudrun gak suka dengan tulisanku? Apa karena kurang referensi, kurang bermutu, kurang banyak, atau kurang apa?

Tapi meskipun aneh, tulisan Emha ini bagiku memberikan sebuah pencerahan.

Pertama, tentang persepsi dan kekuatan pikiran. Betapa respon kita amat ditentukan dengan apa yang kita persepsikan. Dan persepsi kita itu ibarat kacamata. Sebuah realita bisa terlihat biru, hitam, putih tergantung dari warna lensa kacamata yang kita pakai. Kita bebas memilih kacamata biru, apa kacamata hitam atau kacamata dengan lensa jernih untuk kita pakai. Dan kebebasan memilih itu adalah kekuatan pikiran kita sendiri.

Kedua, mengenai pentingnya memaknai setiap kejadian yang kita lalui dengan mencari sisi positif kejadian itu, dan lebih jauh lagi memaknainya sebagai sebuah bagian dari ibadah. Lihatlah betapa Emha begitu enteng memandang kejadian yang bagiku -apabila mengalaminya sendiri- akan memaknainya sebagai sebuah penghinaan. Dia melihat bahwa dilempar orang lain bukan sebuah kehinaan, tapi justru sebuah investasi! Wah hebat, hanya orang-orang dengan tingkat spiritualitas yang tinggi lah yang dapat memberi makna lebih terhadap kejadian yang bagi orang lain adalah hal yang negatif. Ia adalah termasuk ke dalam orang-orang dengan rasa aman internal, orang yang berpedoman pada kompas bukan pada peta yang bisa usang. Ia adalah orang yang memiliki prinsip dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku. Sedangkan prinsipnya adalah prinsip yang sejati yaitu keridhoan Allah SWT semata.

Sebelum aku sudahi tulisan ini, coba resapi kembali bagian lain dari tulisan Emha dalam bukunya berikut :

Sepanjang istriku menjadi istriku, pengalaman terbesar yang selalu dialaminya adalah bahwa suaminya difitnah orang, kemudian difitnah orang dan terus difitnah orang. Fitnah kecil maupun besar. Fitnah dengan tema remeh maupun mendasar. Tak pernah berhenti difitnah, disalahpahami, dibuang, dipinggirkan, diremehkan, disalahmengerti, ditiadakan, di-bukan-manusiakan.

Sesekali orang bertanya kepadanya, bagaimana rasanya suami difitnah orang terus menerus. Istriku menjawab :”Sangat senang dan bersyukur. Aku sedih dan tak bisa tidur kalau suamiku yang memfitnah orang”. Sampai-sampai terkadang kami merencanakan membuat lomba fitnah atas kami dan kami menyediakan hadiah-hadiah besar untuk para pemfitnah. Karena mereka berjasa besar kepada kami, menginfaqkan berbagai investasi masa depan yang sesungguhnya sedikitpun kami tak pernah miliki, kemudian terbukti terus menerus bahwa kami selalu memperoleh segala sesuatu yang kami tak pernah mimpikan, yang sebenarnya kami sadar bahwa kami tak memiliki kesanggupan untuk meraihnya. Hanya karena difitnah orang, maka deposito masa depan kami berkembang biak, sehingga akhirnya datang berduyun-duyun kepada kami segala kekayaan dan kegembiraan hidup yang amat didambakan para pemfitnah kami tanpa mereka pernah mendapatkannya. (Emha, 2007:13-14)

Sekali lagi, sebuah pemaknaan yang luar biasa. Maka timbul sebuah pertanyaan untuk diri ini, “sanggupkah engkau memaknai seperti itu?”

Suroboyo, 7 Juni 2007
[13:10]