Thursday, September 20, 2007

Karenamu Aku Cemburu

Perempuan cemburu? Ah, itu sudah biasa kan? Perempuan mana yang tidak punya feeling cemburuan? Mungkin kalau ada, perlu dipertanyakan status gendernya sebagai manusia dari jenis hawa.

Itu lah yang membuatku tertarik untuk membaca buku yang berjudul "Karenamu Aku Cemburu" yang berisi kumpulan tulisan teman-teman Asma Nadia ini. Asma Nadia, adalah seorang perempuan yang aktif menulis. Karyanya yang sempat ku baca adalah novelnya yang berjudul “Sunyi”. Kedua, karyanya yang bertitel “catatan seorang istri”. Kedua-duanya banyak mengeksplorasi tentang pikiran, perasaan dan tindakan kaum hawa, terutama di tanah air. Membaca kedua karyanya itu, banyak memberikan pemahaman-pemahaman baru bagiku tentang dunia wanita. Dunia Venus yang kerap tidak mudah untuk dimengerti oleh penduduk planet Mars. Setidaknya manfaat yang ku dapatkan adalah lancarnya komunikasi dengan istri. Bukankah salah satu kunci komunikasi yang efektif adalah dengan berempati?

Membaca buku ini, membuatku sedikit geli. Dengan bahasa yang khas perempuan; emosional, melompat-lompat dari fokus pembicaraan dan kadang muncul ungkapan-ungkapan yang tidak penting, kita seperti digiring pada suasana di tengah arisan ibu-ibu PKK. Aku sendiri seperti berada di tengah-tengah riuh rendah suara cewek yang sibuk ngerumpi gosip-gosip artis di acara infotainment, persis saat masih kuliah di psikologi dulu. Dari tulisan-tulisan itu, ada beberapa pengalaman subyektif yang menurutku lucu. Tapi meskipun lucu, ini penting untuk diketahui oleh para suami atau kaum laki-laki yang masih berminat dengan perempuan J

Buku ini menginspirasiku bahwa cemburu bisa datang dari berbagai arah, bahkan dari arah yang tidak kita duga-duga. Seperti pengalaman salah satu rekan Asma Nadia, Azimah Rahayu. Cemburunya pada sang suami justru muncul karena sang mertua. Menurutku ini aneh bin ajaib. Kok bisa-bisanya seorang menantu perempuan cemburu dengan ibu mertuanya yang notabene ibu yang membesarkan sang suami. Dalam pemikiranku wajar-wajar saja jika seorang laki-laki dengan ibunya, sebagai ekspresi penghormatan bagi seseorang yang melahirkan dengan susah payah dan mengasuh dengan tulus.

Namun bagi Azimah Rahayu, kedekatan sang suami dengan ibunya malah menjadi sebuah masalah besar. Masalah ini dipicu saat mereka mudik lebaran di rumah mertuanya. Ketika satu malam sang suami meninggalkannya sendirian di kamar karena diminta untuk memijit-mijit kaki ibunya. Peristiwa ini membuat dirinya merasa tersisihkan oleh ibu mertuanya. Seakan-akan si suami ketika berada di rumah orangtuanya tidak bisa menjadi miliknya seutuhnya. Dia tidak rela berbagi, bahkan dengan mertuanya sendiri.

Pada akhir tulisannya dia mengaku saat ini sudah mulai bisa menetralisir perasaan cemburu yang disadarinya kurang wajar ini. Namun, kita para suami yang dekat dengan ibu-ibu kita rupanya perlu juga memahami kondisi seperti ini. Sebagai antisipasi jika suatu saat gejala ini muncul, kita bisa dengan sabar mendengarkan keluhan istri dan tidak dengan serta merta menyalahkan dirinya.

Cemburu juga bisa datang karena hobi sang suami. Para suami yang hobi nonton bola malam-malam, hobi main PS, hobi mancing, ngelayap malam-malam sekedar cari sate kambing, baca buku sampai berjam-jam, berhati-hatilah! Karena kesibukan anda dengan hobi anda yang bisa membuat anda lupa waktu dan lupa dunia bisa membuat istri anda merasa tersisih. Pada gilirannya bisa membuat kita repot karena para istri bisa ngambek tidak mau bicara, tidak mau masak makanan kesukaan kita dan bahkan tidak mau –TIIIIT!- (maaf, sensor), wah bisa berabe kan?

Macam-macam pintu masuknya cemburu itu, kadang membuat kita para lelaki bisa frustasi. Dari tulisan-tulisan yang dihimpun Asma Nadia ini saya bisa simpulkan pada umumnya cemburu itu muncul karena rasa tidak aman para wanita. Perasaan takut kehilangan adalah alasan utama mengapa wanita bisa cemburu membabi buta. Bahkan bisa berawal dari hal-hal yang sepele dan tidak masuk akal, seperti mimpi (Ya! Semata-mata mimpi!) yang celakanya hampir sebagian besar wanita percaya bahwa mimpi adalah alarm dari intuisinya. Jika wanita sudah merasa tidak aman, maka bunyi sms yang masuk pun bisa memicu cemburu buta, sebuta-butanya.

Buku ini ditutup dengan “lembar untuk suami” dari seseorang bernama Agus M. Irkham. Saya kurang tahu mengenai saudara Agus ini, tapi yang jelas ia adalah salah satu orang dalam jaringan penulis Lingkar Pena, seperti halnya Asma Nadia. Dia menyarankan ketika api cemburu sedang berkobar-kobar, hal pertama yang harus dilakukan oleh para suami adalah diam. Tapi bukan hanya diam yang pasif, tapi juga mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Kemudian saat suhu cemburu itu mulai mendingin, para suami harus mengajak bicara dengan sejuk. Kita wajib menanyakan, apa gerangan yang membuat sang istri bermuram durja. Tanyakan secara spesifik, apa perilaku kita yang memicu kecemburuannya. Jika memang salah, jangan segan-segan meminta maaf. Setelah itu kemukakan dialog, komunikasi yang baik setiap ada masalah yang mengganjal. Jika dengan bicara susah, kita harus mencari metode lain seperti dengan memintanya menulis dan kita bisa membalasnya dengan tulisan pula. Kenapa tidak? Banyak jalan menuju roma kan?

Terlepas dari isinya, Asma Nadia mampu meramu buku ini menjadi buku yang sangat informatif tentang apa, mengapa dan bagaimana wanita bisa cemburu. Dia bisa memperhalus kesenjangan antar tulisan dengan menyisipkan puisi-puisi yang ia buat sendiri. Saya salut pada caranya mendedikasikan karyanya untuk kepentingan perempuan. Saya kira ini lah salah satu cara yang elegan agar wanita dihormati, selain sekedar berteriak-teriak tentang persamaan gender.

Jadi, coba dibaca yuk...


Surabaya, 21 September 2007
[10:57] Resensi Buku : Asma Nadia dkk, Karenamu Aku Cemburu, Depok : PT Lingkarpena Kreativa, 2007

Friday, September 07, 2007

blue.. oh baby blue..

Sebenarnya aku sudah tahu sebelumnya lewat beberapa buku/artikel tentang baby blue sydrome. Mengalaminya? Ya jelas gak lah. Tepatnya ikut kecipratan!

Dari artikel/buku tentang kehamilan dan pasca persalinan itu aku tahu bahwa sebagian besar wanita akan mengalaminya setelah melalui persalinan. Bukan sindroma secara fisik tapi sebuah gejala emosional yang khas, yaitu perasaan tersingkir, tersisih, cemburu terhadap anak yang baru dilahirkannya. Sebuah perasaan yang muncul karena selama sembilan bulan lebih mendapat perhatian penuh dari suami dan keluarga, namun setelah tugas itu telah dilampaui perhatian serta merta beralih kepada si kecil.

Dan aku pun merasakannya pada sikap istriku, saat minggu-minggu awal sepulang dari rumah sakit.

Sepulang dari rumah sakit, praktis rumah kami menjadi ramai oleh saudara-saudara kami yang ingin menjenguk. Minggu pertama, ibuku memerlukan datang dari Banyuwangi untuk niliki cucu keempatnya dan buat mengajari kami merawat bayi mungil kami. Minggu kedua kami masih terbantu oleh kedatangan bik sih (bibinya ocha, istriku) yang rela meninggalkan sawahnya selama seminggu. Setelah itu berangsur-angsur rumah kami mulai sepi dan kami harus mulai sendiri melakukan rutinitas baru kami, merawat nana anak kami.

* * * * *

Blue..Oh Baby Blue...
Pengalaman baru merawat bayi adalah pengalaman yang luar biasa bagiku, terutama bagi istriku. Setelah biasa diperhatikan selama sembilan bulan, sekarang ganti dia yang harus pay full attention kepada bayinya. Ibarat tanaman yang biasa disiram setiap hari, kemudian jarang disiram, ditambah harus menghidupi benalu. Mungkin begitu yang dirasakan istriku.

Awalnya aku tidak begitu memperhatikan perubahan sikap ocha. Aku kira, (selayaknya) ia pasti bersuka cita atas kehadiran putri yang kami nanti-nantikan ini. Aku kira ia menikmati ketika menyusui bayinya, menggantikan popoknya dan saat memandikannya. Ternyata, kebalikannya!

Suatu malam, menjelang tidur aku memergokinya melamun sendiri di pojok kamar sambil menyusui anaknya. Tidak seperti biasa, ia tidak menyapa dan mengajakku ngobrol tentang anaknya. Dan aku mengenali sikapnya itu adalah semacam pernyataan protes. Dan biasanya kalau sudah seperti itu, hanya bisa disembuhkan dengan menghampiri, merangkulnya dan menanyakan ada masalah apa.. Cuma masalahnya, karena saat itu ia masih menyusui anaknya hal itu jadi gak bisa dilakukan.

Baru keesokan harinya aku bisa mengajaknya ngobrol. Dan seperti pada umumnya perempuan yang tidak pernah secara langsung mengungkapkan masalah, ocha sepertinya minta supaya aku mengerti tanpa harus masalahnya tanpa ia harus mengungkapkan secara gamblang. Waktu itu dia hanya bisa menahan tangis. Dan, oo oouw.., aku pun tahu..

Di saat-saat seperti ini lah terasa manfaatnya kuliah di psikologi. Aku jadi segera paham bahwa ia mengalami baby blue syndrome.

Setelah mampu mengendalikan emosinya, ia pun bercerita bahwa ia merasakan bahwa aku meskipun dekat tapi terasa jauh. Aku seperti tidak peduli dengannya, dan hanya lebih peduli dengan nana anaknya. Ia merasakan bahwa "makhluk asing" ini lah yang tiba-tiba merebut segalanya darinya. Singkatnya, istriku jealous he he....

Dan seorang perempuan yang jealous obatnya cuma satu, dirayu dan diyakinkan dengan dicium, maka rontok lah sang momok bernama blue..oh baby blue itu.

Oleh karenanya, para suami yang sedang menantikan kehadiran tangis si kecil dalam rumahnya, bersiaplah.....he he...


Sidoarjo, 7 September 2007