Wednesday, May 23, 2007

Belajar dari kisah : cerita dari Prie GS

“Belajar Dari Kisah” di Indosiar pagi ini cukup unik. Judulnya “Santri Salah Jurusan”. Dari judulnya saja terdengar aneh. Dalam pemikiran saya, santri salah jurusan itu mungkin berarti salah mengambil penjurusan dalam studinya di pesantren atau bisa juga salah naik jurusan bus waktu mudik. Penuturnya juga seorang penutur yang menurutku cukup unik. Namanya Prie G.S. Kurang jelas, apa kepanjangan “G.S.” itu. Mungkin Gondrong Sekali karena memang orangnya berambut gondrong. Namun yang menarik adalah gaya bertuturnya yang mengalir, dan bisa menguak sisi-sisi yang orang lain tidak melihatnya.

Cerita yang dikisahkan Prie GS itu kurang lebih begini :
Ada satu keluarga muda yang sedang menunggu-nunggu kelahiran anaknya. Pada saat usia kehamilan sang istri baru menginjak bulan ke tujuh, mendadak sang istri sudah merasa harus melahirkan. Akhirnya di bawa lah sang istri ke rumah sakit, dan benar, ternyata istrinya dinyatakan harus melahirkan saat itu, karena air ketubannya sudah pecah. Sang jabang bayi dengan terpaksa harus menghirup udara dengan paru-parunya sendiri di saat bayi seusianya masih meringkuk nyaman dalam perut ibunya. Ia harus berjuang melawan kerasnya dunia. Saking kerasnya perjuangannya untuk bertahan hidup, untuk bernafas ia harus dibantu oleh alat bantu pernafasan. Karena kondisinya itu, tubuh kecil itu harus tergolek lemas, pucat, tak berdaya.

Bapak muda sang bayi, tutur Prie GS, yang kebetulan lulusan pondok pesantren terkenal di Indonesia karena kondisi anaknya itu merasa perlu untuk memanjatkan doa kepada Sang Pencipta untuk menyelamatkan sang anak. Dalam pemikirannya, doa itu pasti makbul apabila dipanjatkan oleh orang-orang suci, bertitel kiai atau ustadz. Akhirnya ia meminta kerabatnya di rumah untuk menyelenggarakan doa bersama di kampung tempatnya tinggal. Ia berharap ada bapak kiai yang akan memimpin doa untuk keselamatan anaknya itu.

Selamatan itu pun dilaksanakan. Orang-orang kampung diundang. Bapak kiai di kampung itu pun diundang. Sayangnya pak kiai itu sudah diundang untuk mengisi pengajian di tempat lain. Bapak muda itu sendiri tidak bisa hadir, karena ia harus menunggui istri dan anaknya di rumah sakit.

Selesai selamatan salah seorang kerabatnya berkunjung ke rumah sakit. Lantas sang bapak muda itu menanyakan tentang siapa yang memimpin doa selamatan untuk sang anak tercinta. Betapa kecewanya dia ketika mendengar bahwa yang mendoakan sang anak adalah seorang tukang batu. Ia membayangkan tukang batu itu memiliki pengetahuan yang pas-pasan tentang agama, apalagi tentang doa-doa yang makbul. Ia bukan termasuk orang-orang suci yang didengar doa-doanya oleh Allah yang Maha Bijaksana.

Kemudian, ia bertanya kembali, doa apa yang dipanjatkan oleh si tukang batu? Kerabatnya lalu melafalkan doa yang diucapkan oleh si tukang batu. Terperanjatnya ia demi mendengar bahwa doa itu adalah doa percepatan kematian. Doa itu tentunya akan semakin mempercepat kematian anaknya. Tanpa sadar, air matanya meleleh meratapi nasib anaknya yang malang.
Belum habis rasa terperanjat sang bapak muda itu tadi, sayup-sayup ia mendengar suara lirih dari seorang bayi. Awalnya ia mengira itu adalah suara bayi lain. Namun karena suara tangisan itu semakin keras, ia lantas menghampiri arah suara. Dan betapa kagetnya ia mendapati sang anak menangis. Tak hanya itu saja, anak itu menggerak-gerakkan tangan dan kakinya. Padahal sebelumnya bayi itu lemas dan pucat.

Betapa bahagianya sang bapak muda itu. Bahagia, terharu dan juga merasa bersalah. Ia merasa bersalah kepada sang tukang batu, karena ia telah bersu’udzan kepadanya. Kejadian itu kemudian membalikkan paradigma sang bapak muda itu tentang Tuhan. Ia berpikir, betapa selama ini ia begitu menghinakan Tuhannya. Bahwa ia selalu menganggap bahwa Tuhan, Allah Azza wa Jalla hanya akan mendengar doa orang-orang suci, bertitel kiai dan ustadz saja. Betapa Tuhan pilih kasih, sayang hanya kepada manusia tertentu yang diberi titel tertentu pula oleh manusia yang lain. Ia meremehkan salah satu dari 99 sifat Tuhan yang dulu setiap hari dinyanyikannya di pesantren bersama teman-temannya. Anggapannya tentang Tuhan benar-benar berubah. Allah, berhak mengabulkan harapan, doa, keinginan siapa pun hamba-Nya. Siapa pun yang dikehendakinya. Benar atau keliru doa yang dipanjatkannya. Allah lah yang Maha Menentukan. Ia lah juga yang menentukan kepada siapa rahmat dan berkahnya akan diberikan. Tak peduli apakah ia hanya sekedar tukang batu belaka.


Pahlawan 110, 23 Mei 2007
15:20 pm

Wednesday, May 02, 2007

Sebelas bulan berkarya

Tak terasa, sudah hampir setahun lamanya aku bekerja di tempat ini. Juni 2006 aku mulai bekerja, sekarang sudah Mei 2007. Sebelas bulan, bukan waktu yang singkat bukan?

Sebelas bulan. Apa yang sudah aku kerjakan? Ilmu apa yang sudah dapatkan dari tempatku bekerja sekarang? Apakah memang tempat ini yang benar-benar ditakdirkan menjadi tempatku berkarya seterusnya? Yang terpenting lagi adalah, apakah rejeki yang ku dapatkan dari tempat ini mendapatkan berkah dari-Nya? Apakah istri dan anak-anakku kelak pantas memakan dari rejeki yang ku peroleh di sini?

Sebelas bulan. Waktu yang cukup panjang untuk mempelajari banyak hal. Lantas apa yang sudah ku pelajari selama itu?

Dahulu saat dua tahun berkarya di tempat sebelumnya, sungguh banyak hal yang ku pelajari. Tentang pekerjaan itu sendiri, tentang menjalin hubungan dengan orang lain, karakter-karakter manusia di dunia kerja, efesiensi dan efektivitas, cara menghemat energi baik fisik maupun psikis, teknologi baru and many things i’ve got there.

Sebelas bulan berkarya. Apa yang telah ku dapatkan?
Sungguh selama waktu yang demikian panjang itu, banyak waktu yang telah tersia-siakan, percuma. Banyak waktu hanya terlewat begitu saja. Tak terisi dengan hal-hal yang berguna. Malah mungkin semakin sering ku mengeluh, mengkritik, menunggu. Tersedot oleh energi-energi negatif di luar diri. Mana proaktivitas itu? Mana etos kerja yang menjadi kebanggaan dulu?

Sebelas bulan telah berlalu. Menyedot usia yang semakin berkurang satu demi satu..
Lantas apakah rejeki yang ku dapat memang pantas ku terima? Kegelisahan masih senantiasa mengintip. Apakah yang selama ini ku dapatkan akan mendapatkan ridho-Mu ya Allah? Hanya Engkau yang Maha Tahu. Semoga Engkau kan menuntunku menuju jalanMu yang lurus, jalan yang selalu Kau ridhoi, ya Tuhanku..

Suroboyo, 2 Mei 2007
Pahlawan 110